Blog

Yayasan PKPA Desak Penegakan Hukum Tegas terhadap Kasus Kekerasan Seksual Anak oleh Eks Kapolres Ngada

Tersangka Eks Kapolres Ngada pasca menempuh persidangan etik (KKEP) di Gedung TNCC Mabes Polri. (Foto oleh: Tempo.com)

Medan, PKPA Indonesia – AKBP Fajar Widyadharma, mantan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, telah resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus serius yang melibatkan dugaan tindak asusila terhadap anak di bawah umur dan penyalahgunaan narkoba.

Kasus ini mencuat setelah adanya laporan dari kepolisian Australia ke Divisi Hubungan Internasional Polri Ihwal yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual dan penyebaran video kekerasan melalui situs gelap (dark web). Dalam penyelidikan, ditemukan barang bukti berupa video kekerasan seksual, pakaian korban, serta hasil tes urine yang menunjukkan bahwa tersangka positif menggunakan narkoba.

Sidang etik terhadap AKBP Fajar berlangsung secara tertutup dengan menghadirkan delapan saksi, terdiri dari tiga orang yang hadir secara langsung dan lima orang yang hadir secara virtual. Di antaranya yang hadir secara langsung adalah psikolog, ahli laboratorium yang terkait dengan tes urine, dan ADP yang merupakan istri dari tersangka. Sedangkan lima saksi yang hadir secara virtual adalah ahli kesehatan jiwa, saksi Ajun Komisaris, FDK, SHDR, ABA, dan RM.

AKBP Fajar Widyadharma yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolres Ngada sejak Juni 2024 telah diberhentikan dari jabatannya melalui Surat Telegram Kapolri Nomor ST/489/III/KEP/2025 yang dikeluarkan pada 12 Maret 2025. Pencopotan ini dilakukan setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus asusila dan penyalahgunaan narkoba, di mana ia diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur serta merekam dan menyebarkan video dari tindakannya. 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menyatakan bahwa kasus ini merupakan pelanggaran berat yang tidak dapat ditoleransi. “Berdasarkan hasil kode etik terhadap AKBP Fajar Widyadharma, yang bersangkutan dinyatakan bersalah atas kasus asusila terhadap anak di bawah umur dan dijatuhi sanksi pemberhentian tidak hormat (PTDH) oleh Komisi Kode Etik Polri (KKEP),” ujar Brigjen Trunoyudo dalam siaran persnya di Gedung TNCC Mabes Polri di Jakarta Selatan melalui kanal Youtube CNN Indonesia usai gelaran KKEP pada Senin (17/03/2025).

Berbagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh AKBP Fajar menyebabkan dirinya diduga melanggar kode etik secara serius dan dijerat dengan sejumlah pasal. Dilansir dari Kompas.com, secara etik, AKBP Fajar disangka melanggar beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia tentang Pemberhentian Anggota Polri, serta dalam Peraturan Kepolisian Republik Indonesia tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri. Secara rinci, pelanggaran etik yang disangkakan mencakup Pasal 13 Ayat 1 PP tentang Pemberhentian Anggota Polri, Pasal 8 Huruf C Angka 1, 2, dan 3, Pasal 8 Huruf D, serta Pasal 13 Huruf F dan G Angka 5.

Sementara itu, dalam kasus pidana, AKBP Fajar disangka melanggar Pasal 6 Huruf c, Pasal 12, Pasal 14 Ayat 1 Huruf a dan b, serta Pasal 15 Ayat 1 Huruf e, g, c, dan i dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ia juga disangka melanggar Pasal 25 Ayat (1) juncto Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Respons Yayasan PKPA

Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) sebagai salah satu lembaga pemerhati anak sangat amat menyayangkan kasus yang melibatkan aparat penegak hukum ini. Direktur Eksekutif Yayasan PKPA dalam pernyataannya menegaskan, “Yayasan PKPA dengan tegas mengutuk dan mengecam perbuatan asusila yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom bagi anak-anak. Perbuatan tersebut sangat tidak dapat diterima, karena alih-alih memberikan rasa aman, pelaku malah mengeksploitasi anak-anak yang tidak berdosa. Kami meminta agar pelaku dihukum setimpal dengan perbuatannya dan agar keadilan ditegakkan secepatnya,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterbitkan pada Kamis (20/03/2025).

Kasus ini tentunya mencederai dan menyakiti hati orang tua serta masyarakat Indonesia, terlebih lagi kasus tersebut dapat terkuat setelah diterima laporan oleh pihak luar. Yayasan PKPA mendorong transparansi dalam proses penindakan agar keadilan bagi korban dapat ditegakkan. Advokat Yayasan PKPA Ranaf Sitanggang, S.H., M.H., menjelaskan, “Kalau dari kacamata hukum, pasal yang paling relevan diterapkan pada pelaku adalah Pasal 81 ayat 5 Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 atas perubahan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa ancaman bagi pelaku yang korbannya lebih dari satu orang, mengalami trauma, bahkan pelakunya adalah orang terdekat atau bagian dari pelindung masyarakat ataupun anak, adalah ancaman pidana mati, penjara seumur hidup, dan minimal 10 tahun penjara.”

Kami meyakini sepenuhnya bahwa proses hukum ini akan berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Oleh karena itu, demi memastikan keadilan dan akuntabilitas, transparansi dalam jalannya proses hukum perlu didorong secara maksimal agar segala keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. ‘”Tentunya, kami berharap setiap pihak yang terlibat dan memiliki peran vital dalam penanganan kasus yang melibatkan anak dapat terus mendampingi korban dan mengawal kasus ini hingga tuntas, dengan tetap memperhatikan hak-hak anak. Kami juga mendorong untuk memasukkan hak restitusi bagi anak sebagai hak yang harus diterima bagi setiap korban,” pungkas Ranaf.

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)

Kontak Pengaduan Kasus