Blog

Pembinaan Anak di Barak Militer: Sebuah Kemunduran dalam Sistem Peradilan Anak?

Medan, PKPA Indonesia – Pada awal April 2025, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengumumkan sebuah program pembinaan bagi anak-anak yang dianggap bermasalah dengan mengirim mereka ke barak militer. Program ini bertujuan untuk membentuk karakter disiplin dan tanggung jawab melalui pola asuh bergaya militer, ditujukan bagi anak-anak yang terlibat dalam tawuran, geng motor, dan perilaku sosial negatif lainnya.

Dalam acara peringatan Hari Ulang Tahun Kota Depok pada Jum’at (25/04/2025), Dedi Mulyadi secara terbuka menyatakan bahwa anak-anak yang berperilaku nakal dan melawan orang tua akan dibina di kompleks militer dan kepolisian dengan durasi pembinaan antara enam bulan hingga satu tahun.

Program ini mulai dijalankan secara bertahap di sejumlah wilayah rawan di Jawa Barat, seperti Bandung dan Purwakarta. Puluhan anak telah dikirim ke barak militer untuk mengikuti pendidikan khusus yang diawasi oleh personel TNI dan Polri. Namun, kebijakan ini segera menuai perhatian dan kritik dari berbagai pihak, antara lain: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta sejumlah organisasi yang bergerak di bidang perlindungan anak, termasuk Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA).

Pernyataan Sikap Yayasan PKPA

Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) menyatakan penolakan tegas terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mengirimkan anak-anak yang dianggap “nakal” atau berperilaku menyimpang ke barak militer untuk menjalani pembinaan. Penggunaan istilah “nakal” sendiri sudah tidak relevan dan tidak lagi digunakan dalam kerangka hukum perlindungan anak di Indonesia. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), anak yang melakukan pelanggaran hukum harus disebut sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) dengan menempatkan anak sebagai subjek perlindungan, bukan objek hukuman.

Kebijakan yang telah mulai diterapkan di sejumlah wilayah seperti Bandung dan Purwakarta ini kami nilai sebagai bentuk kemunduran dalam sistem perlindungan anak, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif yang diamanatkan oleh UU SPPA.

Pendekatan militeristik terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau memiliki latar belakang sosial bermasalah, tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya—yakni kegagalan sistem pengasuhan di tingkat keluarga dan minimnya intervensi berbasis perlindungan anak di tingkat lokal. Banyak dari anak-anak ini justru merupakan korban dari pengabaian, kekerasan, atau disfungsi keluarga.

“Rehabilitasi pertama seharusnya dimulai dari rumah dan dukungan sistem keluarga. Ketika seorang anak berbuat salah, yang harus dibenahi adalah lingkungan dan sistem pendukungnya, bukan semata-mata anaknya yang dibawa ke dalam sistem pembinaan keras dan tertutup,” tegas Direktur Eksekutif Yayasan PKPA Keumala Dewi yang ditemui dalam diskusi terkait respons terhadap kebijakan tersebut pada Senin (05/04/2025).

Selain itu, tidak semua anak secara fisik maupun psikis cocok dengan pendekatan pembinaan militer. Dalam banyak kasus, justru anak-anak yang mengalami kekerasan atau penahanan di lingkungan yang represif mengalami trauma tambahan dan berisiko terpapar praktik kekerasan yang dilegitimasi atas nama “disiplin.” Pendekatan seperti ini juga merupakan kemunduran besar dari pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menjamin prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” dan mendorong penggunaan sistem diversi dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKS dan LPKA), bukan fasilitas militer.

“Anak-anak bukan objek eksperimentasi sosial. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan sistem rehabilitasi yang berbasis pada pendekatan keadilan restoratif, bukan represi dan kekerasan struktural,” tambah Koordinator Unit PUSPA Ranaf Sitanggang, S.H., M.H.

Di sisi lain, kami menyoroti potensi bahaya jangka panjang dari model pembinaan di barak militer yang dapat menjadi lingkungan tidak aman bagi anak apabila tidak disertai sistem, pendekatan, dan pengawasan yang ketat—sesuatu yang tidak dimiliki oleh barak militer karena bukan merupakan institusi perlindungan anak sehingga akan berdampak terhadap perlindungan anak (Psikologi Anak).

Rekomendasi Yayasan PKPA

  1. Segera tinjau ulang kebijakan dan evaluasi seluruh program pembinaan yang tidak berbasis regulasi perlindungan anak hingga adanya pembuatan payung hukum yang pasti.
  2. Aktifkan Forum Koordinasi Diversi dengan Pendekatan Restoratif Justice di tingkat daerah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk dinas pendidikan, dinas sosial, unit PPA kepolisian, serta organisasi perlindungan anak.
  3. Bangun dan perkuat LPKS dan LPKA sebagai bentuk nyata implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), serta pastikan anak-anak mendapatkan pendidikan dan hak-hak dasarnya selama menjalani pembinaan.
  4. Libatkan suara anak dalam evaluasi kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka. Anak-anak berhak menyampaikan pendapatnya sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak.

Kami mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, untuk kembali pada jalur hukum dan prinsip perlindungan anak dalam menangani persoalan sosial yang melibatkan anak. Kebijakan yang berangkat dari stigma serta rasa frustrasi hanya akan menambah panjang daftar pelanggaran hak anak di Indonesia.

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)

Kontak Pengaduan Kasus