Blog

BERSINERGI DENGAN KEARIFAN LOKAL UNTUK PROMOSI DAN PERLINDUNGAN ANAK: PENGALAMAN PROGRAM PERLINDUNGAN ANAK DI PULAU NIAS PASCA BENCANA GEMPA BUMI

Oleh: MISRAN LUBIS

Sekilas Tentang Pulau Nias

Secara geografis Pulau Nias merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara, terletak dibagian barat Pulau Sumatera dan berada ditengah Samudera Hindia. Pulau terdiri dari 5 Pemerintahan Otonom yaitu Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Nias.  Wilayah Pemerintahan yaitu Kabupaten Nias dengan pusat pemerintahan di Kota Gunung Sitoli dan Kabupaten Nias Selatan dengan pusat pemerintahan di kota Teluk Dalam.  Keberadaan Pulau Nias yang terpisah dari wilayah propinsi induk sangat berpengaruh terhadap akses pembangunan dan pengembangan sumber daya masyarakat. Kehidupan masyarakat selama ini cenderung terabaikan dan termarjinalkan. Kondisi kehidupan masyarakat di Pulau Nias juga mengalami berbagai keterbelakangan baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Kondisi tersebut mulai diketahui secara terbuka setelah terjadinya Bencana alam Gempa Bumi tsunami tahun 2004 dan tahun 2005.

Pulau Nias dengan tingkat populasi penduduk lebih 800 ribu jiwa,  mayoritas etnis Nias mencapai 85 % dan selebihnya masyarakat Nias pendatang dari Aceh, Minang, Batak dan Tionghoa. Dari segi agama, mayoritas mayarakat Nias pemeluk agama Kristen (93 %), Islam 6 % dan sisanya beragama Budha dan Hindu (1 %).  Sumber pendapatan ekonomi utama masyarakat Nias adalah Pertanian dan Nelayan dengan karakteristik nelayan tradisional. Aktifitas pertanian dan kegiatan nelayan masyarakat masih dilakukan dengan cara-cara traditional dan kurang mendapat perhatian untuk peningkatan sumber pendapatan keluarga. Pulau Nias termasuk wilayah termiskin di Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten Nias Selatan tercatat paling banyak jumlah penduduk miskin, yakni 92 persen dari 278.722 jiwa. Sedangkan kabupaten Nias termasuk dalam peringkat 5 besar dari 25 Kabupaten/Kota termiskin di Sumatera Utara.

Situasi Anak-Anak Pasca Gempa Bumi 28 Maret 2005

Dampak dari kemiskinan, rendahnya akses dan kesempatan anak untuk sekolah, tingginya angka gizi buruk dan diperburuk oleh dampak bencana alam gempa bumi menyebabkan terjadinya pengabaian hak-hak dasar anak. Ratusan anak-anak terlantar diberbagai tempat di pulau Nias dan kota-kota yang ada di Sumatera Utara seperti Kota Sibolga dan Kota Medan. Mereka bekerja di jalanan, perkebunan, laut dan pelabuhan untuk dapat bertahan hidup meskipun harus menjadi buruh atau pekerja berat layaknya orang dewasa. Disisi lain, kekerasan didalam lingkup rumah tangga juga banyak dialami anak-anak. 

Situasi khusus yang menjadi perhatian PKPA adalah tradisi menikahkan anak-anak perempuan diusia muda (usia anak-anak) antara 13 – 17 Tahun. Fenomena ini memang bukan dampak langsung dari bencana gempa bumi, namun issu nya mulai mencul dan menjadi perhatian publik terutama pemerhati hak-hak anak setelah terjadinya gempa bumi di Nias tahun 2005 lalu. 

Pernikahan usia muda, mempercepat pernikahan terhadap anak perempuan merupakan masalah budaya, rata-rata anak perempuan dinikahkan pada usia 13-18 Tahun sekitar 9,4 % dari 218 responden yang diwawancarai oleh PKPA. Data Pemerintah mencatat pada tahun 2005 angka pernikahan usia muda di pulau Nias mencapai 3.746 orang, kasus terbanyak atau sekitar 75 % dialami anak perempuan. (Sumber: Penelitian Karakteristik Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Nias, oleh PKPA dan Oxfam International, 2008). 

Meski fenomena pernikahan dini dianggap wajar dan sudah menjadi tradisi masyarakat, namun tidak sepenuh diterima oleh kaum perempuan. Akan tetapi perempuan tidak banyak pilihan untuk menentukan kapan ingin menikah dan merencanakan sesuatu untuk masa depannya. Meski bukan hal yang mudah untuk merubah paradigma masyarakat terhadap dampak negatif pernikahan usia muda, karena fenomena pernikahan usia dini telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Namun PKPA memandang bahwa proses untuk memberikan harapan yang lebih baik bagi anak-anak perempuan tetap dimulai. 

Bagaimana memulai  Promosi Perlindungan Anak

Beragam teori dan pilihan yang ditawarkan untuk mempromosikan usaha-usaha Perlindungan Anak bagi Komunitas, namun terkadang yang terjadi adalah perlawanan sosial maupun kontroversi dengan adat dan tradisi masyarakat. Sosialisasi Hak di komunitas sering dianggap “momok” bagi orang tua dan orang dewasa disekitar anak karena akan memanjakan dan membuat anak hidup bebas, sebuah interpretasi yang keliru dari masyarakat. Namun terkadang proses nya yang tidak tepat, sosialisasi sering membenturkan langsung antara tradisi masyarakat dan paradigma baru mengenai anak. 

Penggiat Hak Anak terkadang melupakan sesuatu yang sangat berharga ada di masyarakat, yakni mencari peluang kearifan lokal (local wisdom) untuk mengintegrasikan subtansi isu Perlindungan Anak. Di masyarakat batak misalnya ada istilah “Anakku do Hamoraon”  yang berarti kira-kira “Anak itu sesuatu yang paling berharga dalam sebuah keluarga”. Di Nias juga ada istilah “Hafatua ise-ise wamaōdrō eu, na no esolo tola afatō (Sebuah pohon hanya akan bisa dibengkokkan sewaktu pohon tersebut masih kecil. Jika pohon tersebut bengkok sewaktu pohon itu sudah besar maka pohon tersebut tidak akan bisa patah)”. Makna dari pepatah ini mengibaratkan pembinaan anak hanya dapat dilakukan sejak kecil, karena ketika dewasa maka akan sulit sebab mereka telah memiliki prinsipnya sendiri. Dalam issu pernikahan dini terhadap anak perempuan, salah satunya terpicu dengan istilah lokal “anak perempuan ibarat emas”. Bagi keluarga yang akan menikahkan anak perempuannya ibarat akan mendapat “emas” karena nilai jujuran (uang pinangan) pada umumnya sangat mahal berkisar antara 50 – 100 juta, bahkan bisa lebih dan sangat tergantung dari status sosial, pendidikan, kecantikan dan keturanan keluarga. Sehigga ada upaya bagi keluarga untuk mempercepat pernikahan anak-anak perempuannya, disamping adanya issu ketidak adilan gender dimana posisi perempuan lebih sulit untuk menentukan dan memutuskan pilihan hidupnya.  Namun disisi lain istilah dankearifan lokal dapat dijadikan peluang untuk menguatkan proteksi terhadap anak-anak perempuan dari pelecehan, kekerasan atau eksploitasi. 

Masalahnya adalah, bagaimana penggiat hak anak menemukan kearifan-kearifan lokal tersebut untuk dijadikan media promosi hak anak. Untuk menemukan konsep-konsep kearifan lokal di Nias, tahapan yang dilakukan PKPA dalah:

Pro – Kontra Isu Pernihakan Dini

Film berjudul Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan dan berdurasi 35 menit merupakan kisah nyata yang berangkat dari hasil penelitian PKPA atas kekerasan terhadap anak dan perempuan, terutama tentang perkawinan di usia dini. Film ini adalah sebuah kampanye betapa kekerasan terhadap perempuan tidak seharusnya terjadi lagi. Film berkisah tentang Yanti, anak perempuan Nias berusia 15 tahun yang cantik, energik dan cerdas, yang ingin melanjutkan pendidikan ke SMA favorit dengan beasiswa yang ia peroleh karena prestasinya. Namun, keinginannya tersebut terkendala karena tibatiba ia mendengar bahwa dirinya akan segera dinikahkan dengan keluarga terpandang di desa mereka. Bahkan, jujuran (uang pinangan) sudah dipersiapkan. 

Tayang perdana film dokudrama berjudul Perempuan Nias, Meretas Jalan Kesetaraan (PNMJK) di Lapangan Merdeka Gunung Sitoli, Kabupaten Nias, Sabtu (25/10/2008) malam, menyedot ribuan penonton, dan banyak perempuan tersanjung dan berdaya. Seorang penonton yang juga aktivis perempuan di Gunung Sitoli, Nuril Melani Telaumbanua, mengatakan, film PNMJK cukup mewakili aspirasi kaum perempuan Nias. Saya berharap ada perubahan yang terjadi di masyarakat, harapnya. Setelah sukses menggelar tayangan perdananya, muncul permintaan dari berbagai kalangan baik NGOs international, Nasional dan lokal yang memanfaatkan dokumentasi film ini sebagai sarana kampanye anti kekerasan dan penolakan pernikahan usia dini di komunitas dampingan.

Pasca pemutaran film yang mengungkapkan fakta-fakta di masyarakat Nias, membuat sebagian orang terutama kalangan pejabat pemerintah daerah berang, marah dan over acting. PKPA dituduh telah membuat finah dan dinilai ingin menjatuhkan martabat masyarakat Nias. Ancaman akan digusur, di usir, bahkan dicabut izin organisasinya, hingga larangan secara lisan peredaran film PNMJK di Nias, meski tak satupun ancaman tersebut dapat dilakukan karena bukan ranah dan kewenangan Pemda setempat. Ditengah kritik dan tekanan dari pihak PEMDA, PKPA mendapat support dan motivasi dari Kepolisian, Tokoh Adat Masyarakat Nias dan Sejumlah organisasi jaringan perempuan dan anak di Indonesia. yang dapat dilakukan oleh Pemda khususnya kepala daerah dan jajaran yang kontra dengan film tersebut hanyalah tidak melibatkan PKPA atau tidak terlibat dalam kegiatan PKPA, namun sebagai jajaran Pemda Nias tidak berubah sikap dan masih memiliki kordinasi yang baik dalam issu-issu anak dengan PKPA di Pulau Nias.

 Issu pernikahan diusia dini dan fenomen kekerasan yang sering menyertai proses pernikahan itu sendiri telah menjadi perhatian dan perbincangan publik. Issu yang digulirkan oleh PKPA melalui artikel di media cetak dan situs online milik masyarakat Nias mendapat respon pro dan kontra. Lembaga-lembaga keagamaan juga terinspirasi membuat media kampanye penolakan pernikahan dini melalui pendekatan keagamaa, Misalnya kelompok remaja Muhammadiyah telah membuat pentas drama yang mengisahkan pernikahan dini dan resikonya bagi perempuan. Di sisi lain laporan kasus-kasus kekerasan baik kekerasan domestik maupun publik yang dialami anak-anak dan perempuan di Nias juga meningkat. Tahun 2005- 2007 jumlah kasus yang tercatat di kepolisian dan sejumlah LSM sebanyak 109 kasus, PKPA menangani 31 kasus (28,44%). Untuk tahun 2008 kasus yang ditangani oleh PKPA sebanyak 42 kasus dari 53 kasus kekerasan yang dilaporkan di Kepolisian. Dari jumlah kasus tersebut, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual paling banyak dialami anak-anak terutama anak perempuan usia 8-15 Tahun. 

Mengambil Pelajaran dari Masyarakat

Untuk mencapai target promosi dan perlindungan anak dimasyarakat diperlukan adanya pengetahuan yang cukup terkait kultur, karakteristik dan sumberdaya lokal. Meski hal tersebut tidak dapat diakukan dengan cepat, namun hasil yang akan dicapai dapat berkelanjutan. Setelah tiga tahun proses advokasi dan promosi hak anak dilakukan, kini Pemerintah telah mengalokasikan anggaran dan kebijakan daerah untuk perlindungan anak. Ditingkat komunitas muncul inisiatif lokal untuk memberikan perlindungan awal bagi anak-anak korban kekerasan. 

Keberhasilan lain yang dicapai oleh PKPA dalam pelibatan dan mensinergikan kearifan lokal untuk mencapai kesejahteraan dan perlindungan anak adalah:

  • Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini bagi komunitas masyarakat pinggiran di Medan dan Nias.
  • Pembentukan forum anak di Jantho, Aceh besar, Provinsi Nangro Aceh Darussalam.
  • Penyelenggaran layanan kesehatan swadaya komunitas di desa terpencil di Nias dan Klinik masyarakat di Meulaboh, Aceh.
  • Inilah sepenggal pengalaman lapangan yang dapat kami sharing kan kepada peserta WorldForum 2009 di Jakarta-Indonesia. Kami berharap para partisipan dari negara-negara lain juga dapat berbagai pengalaman mengenai penggalian kearifan lokal untuk mencapai keberhasilan promosi dan perlindungan anak. 
Kontak Pengaduan Kasus