I. PENGERTIAN
Secara umum istilah anak jalanan didefenisikan sebagai kelompok anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi dijalanan, baik secara permanen maupun temporer. Namun istilah tersebut masih harus dijabarkan sesuai karakteristik anak jalanan itu sendiri.
Pertama,Children on the street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi dijalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok karakteristik ini yaitu: anak masih tinggal bersama keluarga, jadi tidak senantiasa berada dijalanan terutama untuk tempat tinggal. Kedua anak tidak tinggal bersama keluarga namun masih membangun hubungan dengan keluarga.
Kedua, Children of the Street: adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian waktunya dijalanan dan tidak memiliki hubungan atau memutuskan hubungan dengan keluarga/orang tua.
Ketiga, Children in the Street: anak bersama keluarga yang hidup dan tinggal di jalanan.
Siapakah Mereka?
Pada umum anak jalanan adalah anak-anak berusia 6 sampai 18 tahun yang turun ke jalan untuk bekerja. Namun saat ini sering dijumpai anak jalanan yang masih balita (bawah lima tahun) mengamen dan mengemis di pinggir jalan, pada umumnya mereka diorganisir oleh keluarga maupun orang dewasa yang bukan keluarganya.
Konsep Anak
Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun dalam kepentingan yang lebih universal memandang seorang anak, penulis lebih cenderung mendefenisikan anak sesuai Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
II. KARAKTERISTIK ANAK JALANAN
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Menurut data Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, populasi anak jalanan di Sumatera Utara mencapai 2.867. populasi terbesar ada di Medan, Dairi, Tapteng, Nias Selatan dan Karo. Penyebaran anak jalanan sebenarnya merata di kota-kota diseluruh Provinsi Sumatera Utara, namun keberadaan mereka sulit dideteksi secara pasti dan mobilitas anak jalanan juga cukup tinggi. Misalnya minggu ini anak ada di medan, namun minggu depan bisa berada di Tanjung Balai atau Siantar.. mobilitas ini sangat dipengaruhi oleh
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pendampingan terhadap anak jalanan di Sumatera Utara karakteristik anak jalanan dapat digambarkan sebagai berikut :
- Secara umum profil anak jalanan berasal dari keluarga yang miskin dan dibawah garis kemiskinan. Mereka menjadi anak jalanan disebabkan karena rendahnya kondisi sosial ekonomi keluarga.
- Di samping itu, sebagian besar anak jalanan menggunakan uang hasil usahanya untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka jarang bertemu dengan orang tuanya dan tidak betah di rumahnya. Mereka rata-rata menghabiskan waktunya di jalan selama lebih dari 12 jam. Aktivitas paling menonjol yang dilakukan oleh anak jalanan adalah berjualan seperti asongan, mengamen, menyemir sepatu dan pengemis jalanan
- Dilihat dari profil keluarga rata-rata jumlah anaknya 3-6 orang sangat mendukung anaknya bekerja di jalan dan mendukung pula anaknya untuk tidak bersekolah.
- Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan antara lain (a) rendahnya pendapatan keluarga, (b) keluarga disharmonis, (c) rendahnya pendidikan orang tua, (d) keluarga urban yang tidak memperoleh sumber-sumber ekonomi di daerah asalnya, (e) persepsi orang tua yang keliru tentang kedudukan anak dalam keluarga.
- Di samping itu rendahnya kontrol sosial terhadap permasalahan anak jalanan juga menyebabkan permasalahan anak jalanan semakin menjamur, dan diperparah oleh adanya eksploitasi anak oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan ekonomi dari anak.
- Anak jalanan sangat rentan terhadap prilaku-prilaku kriminal dan ilegal, misalnya kehidupan seks bebas, pengguna dan peredaran NARKOBA, pencurian/copet dan aksi kriminal lainnya.
III. MODEL DAN STRATEGI INTERVENSI
Secara umum terdapat dua tujuan dalam penanganan anak jalanan: Pertama, melepaskan anak jalanan untuk dikembalikan kepada keluarga asli, keluarga pengganti, ataupun panti. Kedua, penguatan anak di jalanan dengan memberikan alternatif pekerjaan dan pendidikan ketrampilan. Prinsipnya menyelamatkan anak dari jalanan harus dilakukan segera karena terkategori sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak (Konvensi ILO No.182).
Namun setiap lembaga dan berdasarkan karakteristik anak jalanan maka membutuhkan model dan strategi intervensi yang berbeda. Menurut Irwanto (dalam Depsos, 2001:9) mengemukakan asumsi-asumsi dasar penanganan (intervensi) terhadap permasalahan anak jalanan. Menurutnya pemahaman terhadap situasi anak jalanan saja tidak akan memberikan jalan keluar yang efektif. Agar sebuah intervensi efektif, maka diperlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai masyarakat dan keluarga-keluarga anak jalanan. Pemahaman makro (struktural) dan mikro (dinamika keluarga) sangat dibutuhkan.
Pilihannya ada tiga model penanganan anak jalanan yaitu street based, centre based, dan community based.
Street based adalah kegiatan di jalan, tempat dimana anak-anak jalanan beroperasi. Pekerja sosial/pendamping anak datang mengunjungi, menciptakan perkawanan, mendampingi dan menjadi sahabat untuk keluh kesah mereka. Anak-anak yang sudah tidak teratur berhubungan dengan keluarga, memperoleh kakak atau orang tua pengganti dengan adanya pekerja sosial/pendamping.
Centre based yaitu kegiatan di panti, Rumah Singgah atau Sanggar-sanggar Perlindungan Anak, untuk anak-anak yang sudah putus dengan keluarga. Institusi ini menjadi lembaga pengganti keluarga untuk anak dan memenuhi kebutuhan anak seperti kesehatan, pendidikan, ketrampilan, waktu luang, makan, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya.
Community based adalah model penanganan anak yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhir adalah anak tidak menjadi anak jalanan atau sekalipun di jalan, mereka tetap berada di lingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya meliputi: peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang dan lain sebagainya.
IV. PENEGAKAN HUKUM
Keterlibatan orang dewasa yang memaksa atau mengeksploitasi keberadaan anak-anak dijalanan tidak dapat terlepas dari perlunya intervensi hukum. Tindakan perekrutan dan mengeksploitasi anak untuk mendapatkan keuntungan bagi kelompok yang mengorganisir anak merupakan tidak pidana dan pelanggaran hak anak. kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak perdagangan (trafficking) anak.
Menurut undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sanksi pidana terhadap orang yang mengeksploitasi anak secara ekonomi maupun seksual akan dipidana paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 200.000.000. intervensi hukum tentunya tidak hanya proses peradilan formal saja, namun rasa keadilan bagi anak yang menjadi korban eksploitasi ekonomi haru sejalan, mencakup rehabilitasi mental, sosial dan ekonomi.
Intervensi program dan model pendampingan terhadap anak jalanan penting kiranya memiliki perspektif pendekatan hak atas rancangan dan pelaksanaannya. Hal ini untuk menghindari para pelaku program tidak terjebak dalam kegiatan-kegiatan karitatif yang cenderung berdampak pada ketergantungan. Pendekatan hak berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah di ratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1990 melalui keppres Nomor 36.
Lembaga pemerintah, non-pemerintah dan institusi keluarga perlu bersinergi untuk mencapai hasil terbaik bagi masa depan anak-anak.