Medan, 07 Agustus 2022
Yang Terhormat,
Presidenku
Salam hormat.
Sekarang senja perlahan menghilang di ufuk barat. Rombongan burung memutar balik untuk pulang ke sangkarnya. Sebentar lagi akan gelap. Saat itu pula seuntai kenangan masa lalu singgah di pikiranku.
Teringat pada gagasan yang tertuang dalam mukadimah Convention on the Right of the Child yang disepakati PBB pada tiga puluh tiga tahun silam. Tersenyum aku, sangat senang setiap kali mengenang isinya. Namun, entah mengapa hati ini mengharapkan lebih banyak bukti. Seolah-olah isinya menamparku dengan kenyataan yang sering terjadi.
Aku ingin mengetahui satu hal. Apakah mustahil jika aku berharap bisa hidup dan terbang tinggi seperti burung-burung di atas langit itu? Mengapa paradigma yang ada selalu mengatakan bahwa anak-anak sepertiku adalah objek yang harus dibina, bukan subjeknya.
Aku tak mengerti apa hak yang kudapat di dunia ini. Aku pun tak mengerti mengapa bisa aku duduk di sini. Menatap televisi yang siarannya tak kunikmati, tumpukan buku yang tak kumengerti, lalu, berharap matahari tak segera pergi menyinari.
Mataku kecil, tetapi mengapa menampung begitu banyak air? Apakah kulit lembutku ini begitu imut, sampai orang-orang dewasa suka menggelutinya? Entahlah, aku pun tak tahu mengapa mereka menyukai itu. Namun, apakah rasa sakit itu harus aku ekspresikan dengan senyuman? Jika memang aku adalah objek yang harus dibina, tolonglah ajari aku bagaimana caranya—cara mengekspresikan rasa sakit dengan senyuman.
Aku memiliki beberapa orang teman, beragam-ragam sifat dan tingkahnya. Ada temanku yang sangat menyukai ubi rebus buatan ibunya. Ada juga yang menyukai ayam goreng restoran ternama yang selalu dibawakan ayahnya sepulang kerja. Terkadang, aku yang berada di tengah-tengah mereka, hanya bisa menundukkan kepala.
Aku pernah berkata kepada ibu, “Bu, sepertinya ubi rebus itu enak untuk dimakan, tolong buatkan satu untukku.” Ibu tersenyum kepadaku, lalu ia membeli ubi rebus yang dijual ibunya temanku. Entah mengapa, ternyata rasanya tak seenak yang kubayangkan selama ini. Aku pikir ibu memasaknya sendiri untukku, seperti ibunya temanku yang memasaknya sendiri untuk anaknya. Mungkin rasanya lebih enak dan spesial.
Aku juga pernah meminta ayah membelikan ayam goreng, tak harus di restoran ternama, yang penting aku bisa merasakannya. Namun, yang kudapat hanyalah ocehan-ocehan belaka.
Sampai situ, aku paham bahwa aku tak boleh menikmati ayam goreng itu.
Sebenarnya, apa definisi kekerasan itu? Perilaku bagaimana yang disebut sebagai kekerasan? Apa yang harus aku lakukan ketika mendapatkan perlakuan yang disebut sebagai kekerasan itu? Dan yang sangat ingin aku tanya, siapa yang melakukan kekerasan?
Aku ingin ceritakan satu rahasiaku bersama teman-temanku, tetapi jangan beritahu kepada orang-orang yang suka melakukan kekerasan ya, Presidenku. Aku takut jika ketakutan kami dijadikan lelucon oleh mereka.
Pada akhir pekan di masa kecilku, aku pernah bermain di taman dengan teman-temanku. Tiba-tiba salah seorang temanku menangis tersedu-sedu. Seketika kami ketakutan, kami pikir dia menangis karena kami meminjam mainannya. Langsung kami dekati dia, lalu mengembalikan mainannya.
Namun, mataku terbelalak ketika tak sengaja melihat bekas biru di lengannya. “Sakit! Sakit!” rengeknya. Lalu, si gendut temanku yang paling lucu, memarahinya. “Hei! Kau jangan cengeng begitu, nanti orang-orang berpikir kami tidak menemanimu! Aku hanya meminjam mainanmu, apakah tidak boleh?”
Seketika temanku itu berhenti menangis, tetapi dia masih merengek kesakitan.
Lalu, seorang kakak menghampiri kami dengan membawa tiga balon di tangannya. Dia memberikan ketiganya untuk temanku yang merengek tadi. Si gendut temanku, langsung bertanya-tanya heran. “Kak, balonnya hanya untuk dia? Kami tidak diberikan? Balonnya kan sudah pas tiga.”
“Balon ini hanya diberikan untuk anak yang tidak jahat! Bukan jahat seperti kalian! Kenapa kalian membuat tangannya biru seperti ini, hah! Kalian cubit dia dengan kuat? Kalian rasakan ini biar tahu bagaimana rasanya kena cubit!”
Pak Presiden, kakak itu mencubitku dan si gendut temanku. Dia pikir kami yang menyebabkan bekas biru di lengan temanku yang menangis tadi.
Pak Presiden, aku malu mengatakannya. Tolong jangan katakan aku dengan sebutan, ‘Anak Cengeng’, seperti yang dikatakan ibu dan ayahku ketika aku menangis. Namun, aku dan si gendut temanku juga menangis saat dicubit oleh kakak tadi. Ekspresi wajahnya itu sangat senang ketika mencubit kami, seolah-olah kami memang pantas mendapatkannya. Untungnya, temanku yang diberikan balon tadi langsung memberi tahu bahwa bukan kami yang membuat bekas biru di lengannya.
“Kakak, kakak, bukan mereka yang cubit aku,” katanya.
Seketika kakak itu meminta maaf kepada kami. Lalu memberikan sama rata balon tadi supaya kami tak merengek lagi. Namun, si gendut temanku membuang balonnya, lalu berlari pulang untuk melapor kepada orang tuanya.
Si kakak tadi langsung mengejar si gendut, lalu membujuknya supaya tidak melaporkan hal yang barusan terjadi kepada orang tuanya. Mau tak mau, kami mengiyakan karena tak berani melawan. Kata guru kami, tidak boleh melawan orang yang lebih tua.
Kakak itu mengajak kami mengobrol, di satu kesempatan, dia bertanya tentang cita-cita kami. Aku mengatakan ingin menjadi polisi, si gendut mengatakan ingin menjadi dokter, begitu pula temanku yang menangis tadi, dia ingin menjadi dokter juga.
Aku ingin menjadi polisi, supaya kelak bisa menangkap orang yang melakukan kekerasan. Temanku dan si gendut ingin menjadi dokter supaya bisa mengobati diri sendiri dan korban kekerasan ketika mereka sakit.
Detik ini, aku semakin bertumbuh, remaja beranjak dewasa. Ternyata baik dahulu ataupun sekarang, tidak ada perbedaan yang signifikan dengan cita-cita anak-anak. Banyak yang ingin menjadi dokter atau polisi, dengan alasan yang sama pula.
Pada akhirnya aku menyadari satu hal, tidak masalah dengan anak-anak yang bercita-cita tinggi. Meskipun tidak teguh pendirian, tetapi aku yakin satu hal, bahwa sebenarnya alasan dari mereka memilih cita-cita, itu yang penting.
Banyaknya anak-anak yang ingin menjadi dokter karena ingin mengobati rasa sakit, mungkin itu yang sering ia rasakan. Banyaknya anak-anak yang ingin menjadi polisi karena ingin menangkap pelaku kejahatan; kekerasan, bisa jadi karena dia banyak menyaksikan kejahatan dan kekerasan itu.
Apakah sudah relatif jika anak-anak tumbuh dan mengejar cita-cita atas dasar rasa trauma yang tak bisa hilang di benaknya? Bagaimana bisa anak-anak mengerti akan hak yang sebenarnya terikat dengan mereka?
Presidenku Yang Terhormat,
Atas nama anak-anak yang tidak mengerti akan hak yang sebenarnya terikat dengan mereka. Aku pikir anak-anak perlu disediakan wadah khusus yang membimbingnya dengan penuh cinta dan kehangatan, mengajarinya dengan tulus tentang hak-haknya. Wadah khusus yang siap mengaku salah ketika bersalah, bukan wadah yang menyalahkan anak atas segalanya.
Presidenku,
Aku sangat yakin anak-anak butuh wadah khusus itu, yaitu wadah yang siap menghargai, mengakui, serta mencintai keberadaan mereka.
Salam hormat dari rakyatmu,
Ahmad Yani