Sudut – sudut kota berhias. Ramai oleh gegap gempita kemeriahan permainan tradisional dan pertunjukan. Begitupun di laman daring, tiap orang berlomba mengunggah segala hal tentang perayaan kemerdekaan Indonesia tercinta.
Ya, 77 tahun usia Republik ini. Angka yang sangat mapan dan layak untuk dirayakan. Berbagai prestasi sudah dicapai, gerak industri dan pembangunan juga nyata terlihat dari banyaknya Gedung – Gedung pencakar langit di pusat kota. Setiap tahun juga marak pemberitaan tentang listrik, akses transportasi, air bersih bahkan saat ini koneksi internet yang sudah dapat dirasakan manfaatnya hingga ke pelosok desa.
Namun pertanyaannya, benarkah segala perubahan, pembangunan dan kebijakan yang selama ini telah diperjuangkan oleh Republik Indonesia benar – benar telah melindungi seluruh masyarakat khususnya anak-anak?
Berdasarkan data kekerasan yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) sejak Januari 2022 hingga saat ini telah mencapai 14.451* kasus kekerasan yang terjadi. Berdasarkan jenis, kekerasan seksual menjajaki angka tertinggi diantara tujuh jenis kekerasan yang telah diklasifikasikan oleh KemenPPPA. Tiga jenis kekerasan dengan angka kasus tertinggi adalah kasus kekerasan seksual mencapai 6.191 kasus, diikuti kekerasan fisik sebanyak 4.901 kasus, kemudian disusul dengan angka kekerasan psikis yang mencapai 4.799 kasus, sisanya merupakan jenis kekerasan penelantaran, trafficking, eksploitasi, dan kekerasan jenis lainnya.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (Yayasan PKPA). Pada konsultasi anak nasional yang dilakukan oleh Yayasan PKPA pada Mei 2022, peserta yang merupakan perwakilan komunitas anak dan orang muda dari seluruh Indonesia menyampaikan keresahan merekan terkait perlindungan anak. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah penjelasan teman-teman tuli yang merasa sering didiskriminasi terutama saat menjadi korban pelecehan. Petugas yang tidak mampu berkomunikasi menggunakan Bahasa yang mampu dipahami anak juga akhirnya membuat penyelidikan semakin ruwet dan akhirnya menyudutkan anak yang sejatinya adalah korban. Hal ini lantas melukai korban untuk kedua kalinya.
Pada konsultasi nasional tersebut, anak-anak dari suku anak dalam jambi juga menjadi peserta. Mereka juga dengan lugas menyampaikan keluhan mereka terkait pembangunan yang akhirnya melukai adat dan perlahan mengambil alih hutan yang merupakan rumah mereka. Pembangunan dan fasilitas yang diberikan kepada mereka juga nyatanya tidak didiskusikan terlebih dahulu kepada masyarakat adat sehingga akhirnya tidak menjawab kebutuhan dan menjadi benda mati yang sia – sia. “Untuk apa kami main perosotan dan ayunan, kalau kami punya pohon tinggi yang lebih seru untuk bermain. Kami juga tidak mengerti diajar oleh guru yang tidak paham bahasa kami, kami juga tidak paham bahasa mereka.” Jelas salah satu perwakilan anak dari kelompok suku anak dalam tersebut.
Tidak hanya teman tuli dan anak -anak dari suku anak dalam, namun anak – anak yang tumbuh dan besar di pusat kota juga masih rentan terhadap kekerasan. Pada konsultasi tersebut juga, ditemukan fakta bahwa masih banyak anak-anak yang mengeluhkan prilaku kasar yang dilakukan oleh oknum pendidik dan perundungan juga kerap terjadi di sekolah. Pernyataan anak-anak ini nyatanya bukan isapan jempol belaka. Pada bulan Juni 2022 mencuat kasus perundungan yang dilakukan oleh sesama anak di Binjai, Sumatera Utara dan berujung pada kematian.
Hasil investigasi yang dilakukan oleh tim advokat PKPA, ditemukan fakta bahwa hingga saat ini, meskipun sekolah ramah anak (SRA) sudah marak digaung – gaungkan, namun nyatanya masih banyak sekolah yang belum memiliki kebijakan perlindungan anak dalam menjalankan institusinya. Ketiadaan kebijakan perlindungan anak dan kurangnya edukasi perlindungan anak dikalangan pendidik dan orang tua, tidak hanya melonggarkan perlindungan anak dan menjadikan anak sebagai korban, namun juga meningkatkan potensi anak terjebak menjadi pelaku karena kurangnya pengawasan dan edukasi.
Selain itu, jika kita ingin mengumpulkan seluruh kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di seluruh Indonesia, katakanlah dari kurun waktu Januari hingga hari ini saat dentum kemerdekaan dan derap langkah paskibraka di seluruh pelosok negeri menggetakhan bumi Indonesia, mungkin hasilnya akan setebal manuskrip perjuangan para pahlawan mem perjuangkan kemerdekaan.
Lantas kita bisa menjawab sendiri, apakah anak – anak kita sudah merdeka dari kekerasan? Tongkat estafet perjuangan kemerdekaan ini bukan hanya milik satu orang dan semua yang merasa peduli mau berjuang layak mengambil alih perjuangan ini. Karena semua orang bisa menjadi pahlawan dan seperti ungkapan seorang kawan “Janganlah momentum kemerdekaan dan perayaan ini hanya berbentuk selebrasi dan menjadi euphoria sesaat, sedangkan anak – anak kita masih banyak yang terjerat dalam bayang – bayang kekerasan karena minimnya standard perlindungan anak dan pengawasan terhadap pengimplementasiannya, jika memang standar perlindungannya sudah ada.
Sekali lagi, Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia.
Doa kita, Anak – anak merdeka dari segala bentuk kekerasan untuk selama – lamanya. (DMC PKPA – Ayu)
*Data dihimpun dari https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan (real time per 17 agustus 2022)
Ilustrasi : Dimas CLC (salah satu karya yang diikutsertakan dalam lomba ilustrasi cegah kekerasan terhadap anak)
Penulis : Ayu Lestari, Koordinator Digital Media Communication Yayasan PKPA