Dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh MDS, bersama dengan rekannya LS terhadap anak sebagai korban berinisial D telah menyita perhatian banyak pihak. Peristiwa yang berujung pada penganiayaan serius ini pada akhirnya menyeret nama AG yang masih berusia anak, hingga akhirnya ditetapkan menjadi anak yang berkonflik dengan hukum (AKH).
Dalam banyak pemberitaan, AG diduga terlibat dalam memancing D untuk datang ke lokasi penganiayaan. Berdasarkan fakta – fakta yang telah dihimpun PKPA, maka PKPA akan mengulas proses hukum yang seharusnya dilalui AG jika dalam penyidikan, kepolisian menemukan adanya bukti bahwa AG terlibat sebagai pelaku (penyertaan atau perbantuan). Ulasan ini tentunya dibuat dengan mengacu pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU RI No. 11/2012).
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut SPPA), AG digolongkan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum (children conflict with law). Anak yang berhadapan dengan hukum (selanjutnya disebut ABH) terdiri dari tiga kategori, yaitu anak sebagai saksi, anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku (sering disebut pelaku anak). Batas usia ABH yaitu ketika melakukan dugaan tindak pidana, usianya belum berusia 18 tahun. Dan AG masih berusia 15 tahun saat terlibat dalam tindak pidana ini.
Dalam segala proses pemeriksaan yang melibatkan anak sebagai saksi, korban dan pelaku, seluruh pihak harus menerapkan prinsip pemeriksaan yang ramah anak (child friendly procedure). Dalam proses pemeriksaan yang ramah anak ini, maka anak dijauhkan dari media, anak diperiksa oleh penyidik yang telah memiliki “sertifikat” sebagai penyidik anak, pemeriksaan dilakukan di tempat yang aman yang nyaman bagi anak, tidak menggunakan seragam saat pemeriksaan dan memperhatikan kepentingan terbaik anak.
Stigma sebagai ABH telah terbukti pada banyak kasus, akan sangat mengganggu tumbuh kembang dan psikologi anak, sehingga segala pemberitaan dan ekspos terhadap ABH harus dijauhkan. Penyidik bertanggung jawab untuk mencegah segala macam pemberitaan terhadap ABH.
Identitas anak pun harus disembunyikan. Identitas bukan saja soal nama, tetapi juga photo, video, gambar, harus dihindari dan penyidik bertanggung jawab untuk menjauhkan anak dari pemberitaan dan ekspos ketika anak harus diperiksa oleh penyidik anak.
Dalam penanganan AG mulai dari pemeriksaan di Polres Jakarta selatan, kemudian dipindahkan ke Polda Metro Jaya, terlihat bahwa media telah menanti-nanti momen pemeriksaan AG. Hal ini mengindikasi bahwa kehadiran kehadiran media kurang diantisipasi oleh Polda Metro Jaya. Tidak berhenti sampai di sini, pasca pemeriksaan AG dan Polda menetapkan untuk menahan AG, media serta selegram, tiktoker, youtuber, ikut meramaikan momen ini serta mengeksposnya secara besar-besaran ke publik.
Situasi ini tentu saja sudah melanggar prinsip perlindungan identitas ABH sebagaimana diatur dalam UU 11/2012, bahkan ada ancaman pidana atas pelanggaran perlindungan identitas ABH. Polda Metro jaya juga “ikut serta” atau berkontribusi atas tereksposnya secara besar-besar gambar dan video AG ke publik. Dalam perlindungan identitas ABH, segala bentuk penampakan ABH dilarang, meskipun wajahnya di blur atau menggunakan masker sekalipun.
Solusi
Dalam penanganan ABH, UU No. 11/2012 telah meletakkan dasar-dasar atau prinsip dan panduan dalam memberitakan ABH. Penyidik tidak harus memeriksa anak di kantor polisi. Jika dipandang perlu untuk kepentingan terbaik anak, anak yang berhadapan dengan hukum bisa diperiksa ditempat yang aman, apakah di rumah anak, di tempat yang tersembunyi jauh dari media, atau tempat-tempat yang anak merasakan kenyamanan ketika diperiksa. Sehingga penyidik bisa membuat keputusan yang tepat dalam melakukan pemeriksaan yang ramah anak.
Penyidik tidak harus menggiring anak ke kantor polisi untuk diperiksa, polisi bisa membuat keputusan untuk memindahkan proses verbal pada anak ketika menemukan fakta banyaknya media yang berkerumun di kantor polisi. Dengan demikian penyidik faham betul prinsip-prinsip pemeriksaan yang ramah anak.
Dalam UN Convention tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang dikenal dengan Beijing Rules juga telah memberikan panduan bagaimana menjauhkan anak dari pemberitaan atau ekspos publik. Hal ini dimandatkan oleh Beijing Rules untuk menghindari stigma negatif dari publik. Jika kita cermati kasus AG, cap negatif tersebut telah diberikan oleh publik setelah membaca, mendengar, menyaksikan ekspos kasus ini, dan stigma ini tentu saja sangat membahayakan masa depan anak. Untuk itu, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang akan melanjutkan proses ini, harus memastikan tidak ada lagi ekspos atas keterlibatan AG dalam kasus ini. Cukuplah orang dewasa saja yang diberitakan, yaitu MDS dan S.
Kegagalan Lembaga penegakan hukum dalam mencegah ekspos identitas anak ke publik, menunjukkan proses pemeriksaan ABH yang tidak ramah anak, dan berpotensi dilaporkan ke Komite Hak Anak PBB.
Jakarta, 14 Maret 2023
Pusat Kajian dan Perlindunga Anak (PKPA)