
Oleh: MISRAN LUBIS
A.Eksploitasi Seksual Anak dalam Bisnis Pariwisata
Parawisata seks anak adalah salah satu bentuk Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA) seperti halnya perdagangan anak, pelacuran anak dan pornografi anak. Negara-negara di Asia Tenggara umumnya (di luar Singapura, Malaysia dan Brunai) adalah Negara-negara yang menjadi tujuan parawisata sex. Karena itu, pariwisata seks anak harus diberantas tuntas seperti pemberantasan perdagangan anak.
ECPAT Indonesia (affiliate group) meyakini, pemberantasan pariwisata sex anak tidak bisa diberantas di tingkat suatu negara saja, tetapi butuh kerjasama beberapa Negara, karena berbeda dengan masalah perdagangan anak di mana anak-anak yang menjadi kita dipindahkan ke suatu tempat, pada masalah pariwisata sex anak, orang yang mengunjungi suatu kawasan wisata untuk melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.
Diprediksi bahwa bisnis pariwisata tidak hanya memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah serta menghidupkan bisnis lokal yang pada akhirnya bisa meningkatkan pendapatan penduduk di daerah kunjungan wisata tersebut. Namun, berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini seperti Bali, Batam dan banyak daerah tujuan wisata di belahan dunia lainnya bisnis pariwisata juga diboncengi oleh para pelaku yang melakukan eksploitasi seksual terhadap anak-anak yang berada di daerah wisata. Hal ini tentunya dapat merusak citra pariwisata di daerah ini, yang juga merusak masa depan anak-anak.
Perkembangan pariwisata dunia yang sedemikian pesat tidak saja mampu menghasilkan sumbangan bagi perekonomian di suatu negara yang menjadi tujuan wisata, namun juga dapat menciptakan dampak positif dan negatif pada kehidupan sosial dan budaya. Salah satu dampak negatif adalah adanya kejahatan ESKA di lingkungan pariwisata.
Berdasarkan informasi yang kami terima dari POLRI dan LSM bahwa telah terindikasi ada usia anak dibawah 18 tahun yang telah dipekerjakan di lingkungan pariwisata, serta adanya prasarana pariwisata yang disalahgunakan menjadi praktek kejahatan ESKA, yang dilakukan baik itu oleh wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara, penduduk lokal maupun direkrut oleh mediator, mucikari, orang tua, calo dan oknum di lingkungan pariwisata (seperti ada anggota kesenian Indonesia yang dikirim oleh impresariat ke luar negeri, mahasiswi yang sedang PKL di suatu hotel, para pekerja pemijat, hiburan malam, dll) ternyata dapat dijual/dieksploitasi secara seksual oleh pengirim. (FGD PESKA- DI LINGKUNGAN PARIWISATA, Oleh ECPAT, Jakarta, 11-12-2008)
WORLD Travel and Tourism Council (2004) menyebutkan, pariwisata merupakan industri terbesar di dunia. Mengingat pariwisata menggabungkan banyak sektor seperti industri yang terkait keramahtamahan, jasa boga, dan persewaan kendaraan, maka pariwisata mempekerjakan lebih dari 8% tenaga kerja dunia dan menghasilkan lebih banyak uang dibandingkan industri lain dalam ekonomi global. Tahun 2005, jumlah wisatawan mancanegara lebih dari 800 juta orang dan menghasilkan lebih dari dua miliar dolar AS per hari.
Sumatera Utara yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Indonesia tentunya wajib mewaspadai dan mengambil langkah-langkah preventif terhadap berkembangnya bisnis prostistusi anak. Di Pulau Nias misalnya, sebagai salah satu daerah tujuan wisata di provinsi Sumatera Utara yang terkenal dengan surfing dan atraksi “Hombo Batu” (Lompat batu) teah terlihat gejala awal munculnya bisnis prostitusi berdasarkan pemetaan PKPA tahun 2008. Daerah tujuan wisata lainnya di Sumut juga sangat potensial berkembang bisnis prostitusi yang mengeksploitasi anak-anak, seperti daerah tujuan wisata Danau Toba, Bukit Lawang, Brastagi, Serdang Bedagai dan Kota Medan sendiri.
B.Fenomena Pelacuran Anak Metropolis
(Dikutip dari Laporan PKPA oleh Ahmad Sofian dan Jufri Bulian Ababil: “Bisnis Seks dikalangan Pelajar di Medan, Thn. 2008”)
1. Siapa Anak-anak Korban itu:
Anak yang menjadi objek aktifitas seksual pria dewasa, dikatakan sebagai korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) karena sesuai dengan prinsip Konvensi Hak Anak (KHA), meskipun anak memberikan persetujuan dalam melakukan hubungan seksual tetap dianggap bukan pihak yang mengambil pilihan secara sadar. Anak-anak selalu terkondisikan menjadi korban karena posisi tawar anak yang le
Di Medan, pelacuran anak sudah menjadi isu yang sudah menjadi fenomena menyedihkan sejak lama, bahkan sudah tercatat sejak tahun 1970-an. Sofian dan Rinaldi dalam artikel yang dimuat di Harian Waspada (3-4/2/1998) menyebutkan, lebih dari 200 ABG dijadikan pelacur anak di hotel GM Tanjung Balai Karimun, Riau. Di era tahun 70-an mencuat istilah “gongli”, “perek”, “cewek baskom” dan lain-lain. Tahun 1998, fenomena anak-anak mulai marak di Medan. Menurut kompensasi yang diterima dari “konsumen”, para pelacur anak di Medan dapat dibagi menjadi dua kategori yang essensial, yaitu: pertama, apa yang disebut dengan “Bonsay” dan kedua adalah “Sewa” atau “Barges”. Bonsay (Bondon Sayang) mengacu pada kelompok wanita muda yang sering keluar masuk diskotik, pub, café, mall dan pusat-pusat hiburan kota yang selain untuk sekedar mencuci mata juga (dengan alasan beragam) melakukan transaksi seksual (Ahmad Sofian dan Rinaldi: 1998, hl. 4).
Belakangan, bermunculan pula istilah baru yang menjurus pada dunia “esek-esek”, baik yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak, seperti istilah cewek Bispak (Bisa Pake) yang juga dikenal di daerah lain di Indonesia dan Bronces.
Dhina Prekasha Yodeha dalam artikel mengenai pelacuran di sejumlah kota di Indonesia yang dikutip dari galaxindo.com menyebutkan, “Bronces atau Onces itu panggilan khusus untuk pelacur ABG di Medan. Di kalangan Onces pun memberikan istilah tersendiri pula untuk mangsanya. Tubang (tua bangka) tapi tebal kocek. Tubang yang istilah umumnya adalah “om senang” incaran para onces, di plaza atau lantai disko.”
Dalam penelitian ini, banyak sekali data yang secara tegas menyangkal bahwa ternyata masalah pelacuran anak bukan masalah ekonomi. Artinya, kemiskinan bukanlah menjadi penyebab utama anak menceburkan diri ke dunia bisnis seks. Hal ini dapat terlihat dari hasil wawancara kepada 50 anak baik mengenai tipikal lokasi tempat tinggal mereka, wilayah alamat mereka, latar belakang keluarga, pekerjaan dan tingkat pendidikan orang tua mereka, serta tingkat pendidikan mereka sendiri.
Dari sisi tipe lokasi tinggal anak tampak bahwa dari 50 anak, hanya satu anak yang diketahui tinggal di perumahan kumuh, bahkan satu anak menyatakan tinggal di kompleks perumahan elit.
Kebanyakan anak yang menjadi korban ESKA justru dari kalangan menengah. Hal ini secara sederhana menggunakan indikator bentuk rumah, isi rumah dan status rumah (sewa atau milik sendiri). Sebab dari indikator ini diketahui pendapatan keluarganya. Dari kaum menengah ke bawah ini, 32 anak menyatakan rumah milik sendiri lengkap dengan perabotan seperti TV, VCD, dan sebagainya. Hanya 4 anak yang menyatakan orang tuanya masih menyewa rumah.
Dari segi letak geografis dan lingkungan tempat anak berdomisili bersama keluarganya tampak bahwa para korban ESKA paling banyak ditemukan di daerah Kampung baru (11 anak), Delitua (4 anak) dan Medan Johor (4 anak). Bila dilihat secara lebih mendalam, perbedaan yang paling mencolok dari 3 daerah ini dengan daerah lainnya di Medan adalah masalah ketimpangan sosial. Artinya di 3 lokasi ini, perbedaan ekonomi, pendapatan keluarga, dan status itu sangat ketara. Dengan kata lain, pada daerah yang sama, hidup masyarakat yang berkehidupan yang serba berkecukupan, dan di sekelilingnya kaum masyarakat yang hidup serba pas-pasan atau yang ekonomi menengah ingin menaikkan statusnya dengan cara mengimbangi gaya hidup orang-orang yang sudah berkelas, mereka ingin membeli seperti apa yang dibeli orang-orang kaya. Jelasnya, konsumerisme telah memainkan peranan penting . Konsumerisme dan budaya instan menghancurkan kehidupan anak-anak yang tidak kuat menghadapi ujian kemewahan yang dimilik orang-orang di sekelilingnya.
Louise Brown menjelaskan, ESKA, termasuk perdagangan anak untuk tujuan seksual sebagai sebuah komunitas, tidak sedikit orang tua menjual anaknya demi menginginkan simbol status yang sama dengan orang kaya.
“Komunitas miskin dan marginal terkepung oleh nilai-nilai, citra dan materialisme masyarakat kaya, dan mau tak mau, kelompok kurang mampu juga menginginkan simbol status yang sama. Paling tidak satu-satunya cara bagi mereka untuk mendambakan komunitas bergaya hidup modern adalah dengan memperdagangkan anak perempuannya sendiri ke dalam perbudakan seksual.” (Brown: 2005, halaman 63).
2. Tingkat Pendidikan dan Usia Anak
Dari 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam 41 di antaranya berstatus pelajar- 15 di antaranya berstatus siswi SMP dan 26 berstatus pelajar SMA/ SMK (3 tercatat telah putus pada saat menempuh jenjang pendidikan SMA). Salah seorang responden yang berstatus siswi kelas III SMP di salah satu SMP Swasta Medan, mengatakan, di kelasnya, ada tiga temannya yang sudah biasa dengan Tubang selain ia. Bahkan menurut penuturan, Siska (juga nama samaran) siswi kelas II SMA di Medan, di kelasnya sudah mencapai 10-15 siswi.
Bila dilihat dari segi usia, kecendrungan anak untuk terseret kedunia ESKA memang masih didominasi usia 17 tahun. Namun, yang sangat mengejutkan justru dari 50 anak yang diwawancarai ternyata 2 di antaranya masih berusia 12 tahun. Meskipun demikian, dari berbagai data yang telah dihimpun umur tidak menempati peranan utama yang membuat anak rentan menjadi ESKA, melainkan lebih pada jangkauan dan gaya pergaulan yang diikutinya dan seberapa jauh seorang anak telah masuk ke dalam pergaulan itu.
3. Faktor penyebab anak terjerat ESKA
Sepanjang penelitian berlangsung ditemukan, ternyata banyak hal yang dapat menjerumuskan anak menjadi korban eskploitasi seksual yang komersil. Tim membagi hal-hal penyebab itu menjadi tiga, yakni factor eksternal, factor penyebab langsung dan factor pemicu.
Selama penelitian berlangsung, umumnya, dari 50 anak yang diwawancarai, faktor eksternal yang membuat anak-anak perempuan yang dalam pengetahuan orang tua mereka anak yang rajin sekolah, anak rumahan dan penurut dengan nasehat orang tua itu, PKPA mencatat sebagian besar factor eksternal mereka adalah gadis-gadis sudah berpacaran di luar batas atau dikecewakan pacar (18 kasus) dan konsumerisme, yakni ingin ikut gaya hidup mewah seperti punya HP, baju bagus dan sebagainya (8 kasus) (Lihat Tabel 11).
Seperti yang diungkapkan salah seorang Responden, Dewi, 17, aku berasal dari keluarga sederhana. Dalam bergaul aku tidak suka memilih-milih teman, walau kebanyakan aku sering keluar malam. Aku jadi terpengaruh dan masuk ke dalam dunia malam. Awalnya hanya percaya dengan bujukan pacarku yang bilang sayang dan suka sama aku. Mungkin karena terlalu senang dan bahagianya aku sampai-sampai mau diajak nya melakukan hubungan suami istri. Kejadiannya di Cafe Pokel (Pondok Kelapa, ed.) di depan Asrama Haji.”
Bagi Dewi saat itu kehilangan perawan bukan suatu masalah asal tidak kehilangan pacarnya. Sayangnya kepercayaan yang diberikan Dewi terhadap pacarnya berbuah bencana, selang beberapa tahun kemudian dia diputuskan. Karena rasa kecewa dan teranjur tidak perawan lagi akhirnya Dewi tak sungkan lagi berkencan dengan Tubang. Kegiatan ini pun ia lakoni bersama teman-temannya. Anehnya tidak seorang pun orang di lingkungan rumahnya yang tahu. “Di lingkungan rumah sini tidak ada yang tahu kerjaan kami begitu. Masyarakat atau keluarga juga nggak tahu,” cerita Dewi.
Berbeda dengan responden lain, sebut saja Dita, siswi salah satu sekolah di Medan. Usianya masih 18 tahun, ia juga salah satu korban pelacuran anak yang berawal dari pergaulan dan teman-teman yang buruk. Dita bercerita bahwa semuanya bermula di tahun lalu (2006, ed). Dita diajak teman satu permainan (geng) di sekolah untuk have fun ke diskotik untuk mengenal dunia malam (dugem). Di diskotik dia mabuk. Dalam kondisi tidak sadarkan diri teman-temannya menawarkan Dita pada salah seorang tamu didiskotik untuk “dipake”. Dita kemudian dibawa ke salah satu losmen di Medan. Esok harinya ia baru sadar bahwa keperawanannya sudah hilang. Beberapa lembar uang ratusan ribu ia terima sebagai kompensasi. Desakan ekonomi dan bujukan teman-teman akhirnya sampai sekarang dia masih melakukan pekerjaan tersebut dengan sembunyi-sembunyi.
Kasus yang sama juga terjadi pada Handa (nama samaran). Remaja kelahiran Medan tahun 1997 ini adalah pelajar salah satu SMP di Medan. Teman-teman sekolahnya ikut andil menjadikannya korban Tubang.
Selanjutnya, untuk factor penyebab langsung adalah diajak teman (24 kasus) dan memakan uang sekolah (6 kasus). Dari kedua factor ini dapat dilihat pola penyebaran anak-anak korban ESKA ini sangat berhubungan dengan lingkungan sekolah, terutama teman yang dipilih sebagai tempat curhat dan pola pengawasan guru dan intensitas kordinasi guru dengan pihak wali murid bila anak terlambat membayar uang sekolah. Kemudian, untuk factor pemicu, sebagian besar anak mengaku harus merelakan kehormatannya secara komersil dipengaruhi dua alasan utama, yakni, pertama sudah tidak perawan lagi dan kedua, butuh uang.
4. Sindikasi Bisnis Prostitusi Anak
Sepintas, tidak ada sindikasi dalam bisnis seks yang terjadi. Bila pun ada hanya sebatas anak yang sudah terlebih dahulu terjun ke dunia Tubang atau Tebet dengan anak-anak yang baru sekedar coba-coba, atau masih pertama kali. Namun, dalam beberapa kasus yang ditemukan, ternyata ada sindikasi yang terjadi. Misalnya, pada kasus siswi SMAN 1 Medan yang membeberkan, bahwa di kawasan Jalan Mahkamah, seorang yang berstatus ibu rumah tangga telah membangun secamam “Home Industri” bisnis seks di kalangan pelajar. Diketahui, ia mengendalikan bisnisnya ini dari rumahnya. Ia memiliki banyak kontak dengan Tubang dari dalam dan luar kota Medan. Bahkan puluhan anak bisa ia sediakan. Jadi para pelajar yang membutuhkan uang, cukup menghubungi dia, maka dia tinggal call dan negosiasi.
5. Modus Operandi
Pada penelitian ini ditemukan beberapa modus baru dalam bisnis seks di kalangan ABG Medan yang sebagian besar berstatus pelajar ini, yaitu pulang sekolah tidak pulang ke rumah tetapi dibawa ke hotel. Untuk meyakinkan orang tua, teman-temannya ikut meminta izin dengan dalih mengajak renang atau jalan-jalan, sehingga orang tua mereka tidak curiga.
6. Dampak yang dialami Anak
Dalam penelitian yang dilakukan, diperoeh data bahwa dari 50 responden yang diwawancarai, 5,5 % mengaku menekuni dunia “Tubang” selama dua tahun, kemudian 5 % menyebutkan sela 1 tahun dan 4,5 % belum sampai setahun. Kendati demikian, masih ada 9% yang tidak diketahui berapa lama anak terjerumus.
Seperti Yayuk, salah seorang siswi di Medan membeberkan, ia menekuni dunia Tubang sejak SMK kelas 2, dalam satu bulan ada 2 atau tiga Tubang atau Tebet yang dilayaninya, terhitung sejak bulan Juni-Oktober 2007. Lalu ada Imah, siswi SMP kelahiran 26 Maret 1996. Ia mengaku sudah menjadi cewek yang bisa dipakai para Tubang sudah lebih dari 10 kali sampai pernah kemaluannya luka gara-gara disetubuhi Tubang. Bahkan, lebih parah yang dialami Cici, 17 yang sudah dua tahun (sejak Maret 2006) aktif menjajakan tubuhnya kepada Tubang, saat ini sudah terkena penyakit kelamin. Selain di karaoke, di Padang Bulan, Pardede ia juga kadang suka mangkal di depan asrama Haji pulang Sekolah.
Lina, 17, gadis asal Perbaungan pula menerangkan, ia akibat hubungan dengan Tubang ia hamil dan telah melahirkan dua orang anak. “Anak yang pertama hasil hubungan dengan pacarnya, anak tersebut kini ditinggal bersama orangtuanya. Anak yang kedua adalah hasil hubungannya dengan Tubang yang memeliharaku. Anakku diambil oleh tubang itu, katanya untuk dirawat……. Aku tidak peduli dengan program-program NGO dan Pemerintah, yang penting bisa dapat uang, bisa bertahan hidup, sudah!”
7. Dampak pada Diri Anak dan Keluarga korban
Penelitian atas 50 responden ini menunjukkan bahwa 15,5 persen anak korban ESKA tidak mengetahui manfaat atau rasa suka yang mereka dapat dari aktivitas seksual yang mereka lakukan. Sementara itu, 2,5 persen mengaku senang karena bisa mendapatkan uang. 2,5 persen pula mengaku mendapatkan kepuasan seksual dan 1,5 persen suka karena dapat membeli perlengkapan pribadi dan jalan-jalan.
Ika, siswi SMA di Medan biasanya mencari pelanggan di karaoke, yang paling sering di Nibung Raya, Diskotik Super, M3, dan di hotel di Padang Bulan, Jalan SM Raja Sri Deli, Pardede. Ika mengaku bayaran terkadang kurang dari perjanjian, walaupun kadang-kadang Ika menikmati aktivitas seksualnya.
Kalau ika pernah menikmati aktivitas seksualnya itu, Nita justru sangat tertekan. Nita yang berstatus pelajar salah satu SMA di Medan, kelahiran Medan, 25 Oktober 1990, Nita pernah mencoba bunuh diri. Hingga Nita memiliki bekas luka irisan pisau di urat nadi.
Lain halnya dengan Hani. Dampak kekerasan fisik yang ia alami adalah lecet. Sampai sekarang Hani trauma kepada laki-laki setelah ia putus dari pacarnya.Sedangkan dampak kekerasan seksual yang ia alami adalah hilang keperawanan dan hamil. Hani tidak mengungkapkan kemana bayi yang dilahirkannya itu, kemungkinan besar Hani melakukan aborsi.
Yeni, salah seorang pelajar salah satu SMA di Medan. kelahiran Medan, 6 Juni 1991 mengatakan, selain berdampak hilangnya keperawanan, dampak ESKA yang dialaminya juga mengakibatkan kemaluannya lecet, bahkan sempat mengalami stress ringan. Selain itu, pernah juga ia mengalami beberapa pelanggan yang enggan membayar setelah aktivitas seksual mereka.
Devi, 16, punya pengalaman yang berbeda mengenai dampak kekerasan yang dialami. Ia lebih pada kekerasan emosi dari keluarganya: Ia diusir dari rumah, karena dianggap mempermalukan keluarga.
Kalau yang dialami Yuyun berbeda lagi. Siswi Kelas III salah satu SMP di Medan ini justru mengaku, kost di Medan bukan karena diusir keluarga, tetapi karena keinginan orang tua (ibunya). Berawal tahun 2004, ayahnya sakit kejang darah tinggi, sehingga satu tahun ibunya kawin lagi dengan duda cerai.
Dini, siswi Kelas I SMK Negeri di Medan mengenai kerentanannya terhadap HIV AIDS menjelaskan, “Sedikit tahu sih tentang HIV/AIDS, penyakit itu penyakit mematikan, tidak ada obatnya, menularnya melalui hubungan sexsual. Awalnya takut juga, tapi gimana…perlu uang, tapi saat ini sudah tidak lagi, takutnya sekarang cuma takut ketahuan orang tua.”
Tami, siswi SMA di Medan, menjadi korban ESKA melibatkan teman-temannya. Hal itu sudah berlangsung lama dilakukannya. Penyebabnya karena masalah keuangan. Om-om yang membawanya ke hotel.
Dampak kekerasan yang dialami adalah lecet. Tak hanya itu bahkan ia sempat stress berat karena mengetahui dirinya hamil. Kisah Putri lain lagi. Putri, siswi SMA di Medan. Putri indekos di Medan. Ia adalah salah seorang korban ESKA karena lari dari rumah (sporing). Pasalnya orang tuanya tidak setuju dengan rencana Putri untuk menikah. Menurut mereka, Putri yang masih sekolah masih terlau dini untuk menikah . Putri menjadi korban ESKA karena dia diajak oleh pacarnya yang bernama Andi, mahasiswa di Medan. Pada saat liburan Andi mengajaknya untuk menginap di sebuah rumah penginapan untuk berpesta narkoba. Di bawah pengaruh narkoba Putri melakukan hubungan intim. Ia menjadi pelacur anak direkrut oleh seorang waria yang bernama Rudi, yang sering mangkal di daerah Novotel Soechi, Capital Building dan M3.Orangtuanya tidak menerimanya untuk tinggal dirumah, karena menurutnya orang tuanya malu punya anak seperti Putri. Putri tidak mengalami dampak kekerasan fisik, hanya saja ia telah kehilangan keperawanan dan hamil dan telah melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama hasil hubungan dengan pacarnya, anak tersebut kini ditinggal bersama orangtua Putri. Anak yang kedua adalah hasil hubungannya dengan seseorang yang memeliharanya (Tubang),kemudian anak tersebut diambil oleh tubang tersebut yang katanya untuk dirawat.
8. Perspektif Korban untuk Mengatasi Masalah
Setiap manusia tentunya punya titik jenuh. Ketika rasa jenuh itu teah mencapai titik nadirnya, maka ada keinginan untuk memberontak atau melawan. Beberapa responden dalam kasus ini sudah mencapai titik jenuh tersebut. 2 persen dari responden mengaku ingin berhenti dan keuar dari lingkaran setan bernama ESKA. 1,5 persen mengaku enggan berhenti kaena merasa tidak ada jalan keluar atau enggan keluar. 21,5 persen tidak tahu dengan pasti apakah mereka ingin berhenti atau tidak.
Anak-anak yang menjadi korban ESKA yang punya keinginan berhenti juga memiliki rencana yang berbeda tentang kapan harus berhenti dari komersialisme tubuh dan seksualitas itu. Tari misalnya, siswa kelas III salah satu SMK swasta di Medan ini menyesal telah berkubang dalam jeratan Tubang. Karenanya ia berniat untuk berhenti ketika tamat SMU nanti. Harapan lain datang dari Dede, bukan nama sebenarnya. Siswi SMK kelahiran 13 Februari 1992 ini memiliki bakat dan potensi tata rias kecantikan. Dede bertekad untuk berhenti dan memiliki salon kecantikan. Dede sangat mengharapakan dukungan dan bantuan dari pemerintah dan LSM agar mendapatkan perlindungan dan bantuan. Sementara Vita, juga bukan nama sebenarnya, pelajar SMA berdarah Jawa ini, mengharapkan bantuan beasiswa pemerintah dan organisasi non pemerintah agar ia dapat menyelesaikan pendidikan dan berhenti dari komersialisasi tubuh dan seks tersebut. Apalagi kondisi perekonomian keluarga Vita tergolong kurang beruntung. Kondisi rumah Vita yang didatangi tim jeas menggambarkannya. Rumah Vita berdinding papan yang sudah lapuk bergandeng dengan dua rumah sejenis. Beratap seng yang sudah karatan dan sering bocor. Vita berharap ada beasiswa untuk SMP dan SMA bagi anak-anak yang kurang beruntung seperti mereka supaya anak-anak yang terjebak permasalahan ekonomi terselamatkan.
Catatan KKSP: Lebih dari 1.500 Anak Dilacurkan di Sumut
(7 February 2007)
Kasus-kasus pelacuran yang melibatkan anak-anak kian mengkhawatirkan. Hasil monitoring yang dilakukan Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak, diperkirakan terdapat 1.500 anak terlibat dalam bisnis pelacuran. Baik karena kemauan sendiri, maupun keterpaksaan.
Direktur Eksekutif KKSP Muhammad Jailani, menyatakan kasus-kasus pelacuran anak menunjukkan tren meningkat. Munculnya angka 1.500 anak itu, menurut Jailani, bersumber dari perhitungan sementara berdasarkan observasi pada sejumlah daerah. Dari jumlah itu, yang tergolong profesional sebanyak 45 persen, kemudian untuk kesenangan tidak dalam kerangka profesionalitas sebanyak 20 persen dan yang ikut-ikutan sebanyak 35 persen.
“Di Medan misalnya. Kita mendapati ada 160 anak yang terlibat dalam pelacuran. Jumlah itu kita peroleh setelah melakukan observasi pada 15 kafe. Pada tahun sebelumnya, observasi ada tempat yang sama kami mendapati ada 56 anak,” kata Muhammad Jailani, kepada wartawan, Rabu (7/2/2007) dalam sebuah diskusi di Hotel Garuda Plaza, Jalan Sisingamangaraja Medan. Diskusi ini dilakukan bersamaan dengan ulang tahun ke 20 KKSP.
Dikatakan, Jailani, untuk mendapatkan data ril kasus per kasus, anak yang bekerja ataupun terlibat dalam pelacuran, tentu mustahil. Selain karena ketertutupan masalah ini, juga karena tidak semua anak yang terlibat dalam pelacuran berada pada tempat-tempat keramaian semacam kafe.
Namun ditegaskan Jailani, persoalan anak yang terlibat dalam praktik pelacuran, jangan semata dilihat dari angka-angka statistik. Ada persoalan lebih besar dari itu, yakni situasi sosial yang memprihatinkan. Pengamat Sosial Prof Nur Ahmad Fadhil Lubis yang turut hadir dalam diskusi ini, juga menyatakan pendapat serupa. Dikatakannya, ada kecenderungan masyarakat mulai permisif terhadap masalah tersebut.
“Seharusnya lembaga-lembaga agama juga memberi perhatian pada masalah ini. Misalnya melakukan upaya penyadaran agar kasus-kasus pelacuran, tidak lagi terjadi. Setidaknya, dengan mulai menjadikan masalah ini sebagai salah satu persoalan masyarakat yang perlu diselesaikan segera,” kata Ahmad Fadhil.
9. Simpulan dan Rekomendasi
9.a Kesimpulan
- Secara kuantitas jumlah anak-anak korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) mengalami peningkatan secara drastis. ESKA di kalangan pelajar yang awalnya di satu sekolah, dari satu anak di satu kelas, kemudian menular dan menggurita ke sekolah-sekolah lain di banyak sekolah di Kota Medan. Jumlah anak korban ESKA di Medan mencapai 2000 secara merata di seluruh wilayah. Jumlah ini sangat estimatif, karena sulitnya mendata secara pasti fenomena gunung es ini.
- Konsumerisme, pacaran yang melewati batas dan kehilangan perawan serta merasa dirinya sudah tidak berharga lagi, mendominasi sebagai faktor yang sangat kuat dalam menggiring anak menjadi korban ESKA.. Kebingungan mengatasi masalah ekonomi dan identitas sosial, kurangnya perhatian keluarga, teman curhat dan informasi yang salah juga turut mendorong anak dalam mengambil keputusan yang tidak bijak sehingga harus menjual kehormatannya demi mendapatkan uang.
9.b Rekomendasi
- Hotel-hotel di Medan sebaiknya tidak memperkenankan tamu check in bersama anak-anak yang patut diduga adalah korban eksploitasi seksual.
- Pendidikan, pelatihan, dan penyadaran kepada pengelola hotel tentang bahaya eksploitasi seksual perlu dilakukan sehingga hotel terhindar dari praktek ESKA.
- Sepatutnya ada sanksi yang diberikan kepada hotel yang masih mentoleransi kamar hotel dijadikan tempat berlangsungsungkan eksploitasi seksual.
- Sekolah-sekolah yang rawan dari praktek pelacuran anak perlu dilakukan pendidikan, pelatihan dan penyadaran, agar siswa tercegah dari praktek pelacuran anak. Pendidikan atau kampanye di sekolah perlu dilakukan agar anak tidak melakukan praktek pelacuran terselubung. Bila diperlukan maka informasi tentang bahaya HIV/AIDS juga perlu disampaikan, siswa sangat tidak faham soal bahaya ini sehingga praktek pelacuran yang dilakoninya sangat rentan tertular HIV/AIDS.
- Membuat material soft campaign di mal-mal atau plaza tentang bahaya pelacuran anak di lokasi tersebut.
Catatan: nama-nama yang disebutkan bukan identitas sebenarnya