Blog

Mendung di Stadion Kanjuruhan. Menyoroti Minimnya Fasilitas dan Standard Perlindungan dan Keamanan

Masih segar dalam ingatan kita tentang tragedi yang menyelimuti Stadion Kanjuruhan pada 1 oktober 2022 silam. Hingga kini tercatat 125 korban meninggal, dan lebih dari 320 korban lainnya mengalami luka-luka.

Namun kenyataan lebih tragis yang harus kita telan adalah kenyataan bahwa ada cukup banyak korban anak dalam tragedi tersebut. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa sebanyak 33 anak menjadi korban meninggal dalam tragedi tersebut. Korban berusia 4 hingga 17 tahun, dan 8 diantaranya adalah anak perempuan, sedangkan 25 korban lainnya adalah anak laki-laki.

Kita tidak sedang berniat untuk membuka kembali luka bagi keluarga yang ditinggalkan, namun kita perlu kembali berkaca untuk melihat apa yang masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk mengantisipasi tragedi yang sama tidak terjadi kembali.

Ranaf Sitanggang selaku Pendamping Hukum PKPA menyatakan bahwa tragedi kanjuruhan ini bukanlah tragedi biasa. Dengan banyaknya korban yang jatuh, harus ada pihak – pihak yang bertanggung jawab agar keluarga yang ditinggalkan juga merasa adanya keadilan.

Dalam tragedi ini, PKPA menyoroti fasilitas dalam penyelenggaraan suatu kegiatan yang menghadirkan kerumunan orang yang banyak. Menurut PKPA dalam mendesain kegiatan, harus ada standard fasilitas yang ramah anak sebagai langkah awal mitigasi resiko jika hal – hal yang buruk terjadi. Selain itu, Dizza Siti Soraya selaku Child Safeguarding Focal Point diPKPA menyayangkan petugas kemanan yang menyemprotkan gas air mata di saat kericuhan mulai terjadi.

“Apakah boleh membawa dan menembakkan gas air mata di dalam stadion? Lalu pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimanakah SOP (standar operational prosedur) dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, terutama untuk aspek keamanannya.” Jelas Dizza.

Hal Senada juga disampaikan oleh ranaf sitanggang. Beliau berpendepat bahwa gas air mata jika terpapar pada tubuh akan berbahaya dan jika manusia terkena maka akan menimbulkan rasa perih yang hebat, ditambah lagi saat itu penembakannya dilakukan di dalam ruangan tertutup penuh manusia.

“Saat ini saya yakin aturan dalam penyelenggraan sepak bola, baik untuk standard fasilitas dan kemanan pasti sudah ada. Namun dalam implementasinya, apakah orang orang yang menyelenggarakan pertandingan tersebut menjalankan SOP tersebut atau tidak. Ini yang menjadi permasalah. Kedua, yang perlu diperhatikan adalah belum adanya pembagian area khusus anak. Semua penonton baik dewasa dan anak bergabung. Bayangkan jika ada kericuhan, maka anak lah yang paling rentan pada situasi ini.” Paparnya.

“Jadi kita merekomendasikan, walaupun mungkin belum ada peraturan khusus dari induk sepakbola, alangkah baiknya jika pemerintah daerah dapat mengeluarkan regulasi untuk fasilitas seperti stadion agar menyediakan ruang khusus bagi penonton anak, penonton disabilitas dan bahkan ruang khusus bagi penonton wanita.” Sambungnya.

Penjelasan diatas juga dipertegas oleh Dizza yang menyampaikan bahwa di dalam Pasal 22 tentang Perlindungan Anak dengan tegas disebutkan bahwa Negara dan Pemerintah wajib menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Selain itu panitia penyelenggara seharusnya juga sudah melakukan mitigasi resiko, menyediakan serta mengedukasi terkait jalur evakuasi jika terjadi bencana alam maupun bencana kemanusiaan.

Dizza juga menyoroti terkait form consent. Form Consent adalah formulir yang biasanya digunakan untuk menunjukkan bahwa orang tua / wali mengetahui dan mengijinkan anak mereka mengikuti suatu aktivitas tertentu. Dizza menyampaiakan bahwa di Yayasan PKPA, form consent cukup efektif digunakan untuk memastikan keselamatan anak dalam sebuah kegiatan. Karena asumsinya orang tua hanya akan memberi izin anak mereka mengikuti kegiatan yang dianggap cukup aman dari resiko . Maka dari itu, bagi petugas di stadion olahraga, penting untuk melakukan screening kepada penonton usia anak, untuk memastikan bahwa mereka hadir sudah atas izin dari orang tua. Ini menjadi rekomendasi bagi reformasi stadion ramah anak kedepan.

Salah seorang anggota komunitas anak, Sofri juga membenarkan apa yang disampaikan Dizza. Karena menurut sofri, ada banyak anak-anak yang selama ini mengikuti kegiatan yang mengumpulkan kerumunan tanpa adanya izin dari orang tua. Menurut sofri, hal ini cukup berbahaya dan perlu diantisipasi.

Sebagai penutup, Ranaf menyampaikan bahwa saat ini tersangka pada tragedi Kanjuruhan dijatuhi hukuman dengan Pasal 359 dan 360. Namun alangkah baiknya jika hukuman juga mempertimbangkan Undang – undang perlindungan anak, karena pada kasus ini hak – hak anak tidak terpenuhi terutama untuk aspek perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak. (DMC – Ayu)Ikuti terus berita update terkait tragedi kanjuruhan di website dan youtube Yayasan PKPA.

Kontak Pengaduan Kasus