
Perjuangan Ibu Tunggal Tetap Berwirausaha dan Berjuang Melawan Miom
Berbusana terusan warna biru serta berkerudung dengan warna senada, Ibu Dewi menyambut kedatangan tim PKPA dengan senyum yang mengembang, tidak ada sedikitpun tanda yang menunjukkan bahwa ibu dari enam orang anak ini menderita penyakit yang sangat ditakuti oleh wanita pada umumnya.
“Baru sadar kalau sakit sekitar setahunan yang lalu. Sebelumnya nggak ada tanda apa-apa, cuma belakangan ini pinggang belakang suka sakit dan datang bulan lebih banyak dari biasa. Saya tanya tetangga, mereka bilang mungkin karna sudah mau manapouse. Tapi setelah diperiksakan ternyata miom.” Tuturnya sembari tetap tersenyum.
Miom adalah sejenis tumor jinak pada otot rahim dan juga vagina yang biasanya diderita oleh wanita pada masa produktif. Meskipun tidak tergolong penyakit yang mematikan, namun jika tidak ditangani dengan serius akan berbahaya bagi kesehatan penderita.
Pada oktober 2015 silam, Ibu Dewi sempat mengalami pendarahan karena penyakit yang dideritanya. Namun begitu, beliau tidak lantas berdiam diri. Meskipun biaya perobatan yang relatif mahal membuat beliau tidak sanggup melakukan perawatan medis secara terus menerus, namun ibu Dewi mengakalinya dengan mengkonsumsi buah bit menjelang periode menstruasi.
Setelah bercerai dengan suami, Ibu Dewi dan anak-anaknya berjuang untuk memenuhi ekonomi keluarga. Empat orang anaknya yang paling besar sudah bekerja dan membantu menutupi kebutuhan listrik, air dan sewa rumah, sedangkan untuk pendidikan kedua anaknya yang saat ini masih duduk di bangku SMP, Ibu Dewi berjualan keripik pisang dan keripik kue bawang.
Pada awalnya, Ibu dewi berjualan kue basah dan dititipkan dari warung ke warung, namun usaha itu berhenti karna wanita paruh baya ini tidak lagi sanggup terlalu lelah bekerja. Keinginan untuk kembali memulai usaha timbul saat beliau bergabung dengan CU Sumber Rezeki yang dikelola oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) pada tahun 2014.
Awalnya beliau memulai usaha dengan ketiga sahabatnya yang sama-sama berdomisili di Pinang Baris. Mereka bertiga memutuskan untuk berwirausaha keripik pisang. Namun hanya beberapa bulan berselang, usaha yang mereka bangun harus berakhir dan Ibu Dewi memutuskan untuk memproduksi keripik seorang diri dibantu oleh putrinya.
Menurut pengakuan Ibu Dewi, pisang yang biasa digunakan adalah pisang kepok kuning dan dijual dengan bungkus berukuran sedang yang beratnya sekitar 1,5 ons. Satu bungkus keripik dijual seharga lima ribu rupiah.
“Setiap bikin selalu habis, kadang ada yang mau beli tapi persediaan keripiknya sudah nggak ada karna ibu bikinnya nggak bisa banyak. Modalnya kan terbatas, jadi harus pande-pande lah. Kalau ada uang dibelikan pisang setandan, hasil jual keripik disisihkan sebagaian untuk beli pisang lagi, sisanya dipakai untuk kebutuhan makan sama sekolah anak-anak. Biaya dari bapaknya nggak bisa dipastikan, kadang kasi kadang nggak, kadang kalau diminta malah marah.” Tuturnya sambil tertawa untuk menutupi kenyataan getir yang harus dihadapinya.
Ibu Dewi mengakui bahwa keuntungan dari berjualan keripik sebenarnya relatif besar, hanya saja keterbatasan modal dan alat yang masih meminjam membuatnya harus puas dengan kondisinya saat ini. Meskipun begitu, Ibu Dewi sudah mulai mengajarkan memperkenalkan usaha yang dirintisnya kepada Elfira, anaknya yang paling kecil. Saat ini Elfira duduk di sekolah menengah pertama, selain membantu orang tuanya memproduksi keripik, Elfira juga kerap membawa dan menawarkan keripik dagangan orang tuanya kepada teman-temannya di sekolah.
“Kalau kakak dan abangnya dulu menyapu angkot untuk bantu-bantu biaya sekolah, sekarang udah nikah dan kerja. Fira ini ada juga minatnya untuk jualan, dia sering bawa dagangan ke sekolah untuk dijual. Ya untuk tambahan uang ongkosnya, meski biaya sekolah dibiayai sama PKPA tapi ongkos dari pulang-pergi untuk dua orang anak ini dua puluh ribu juga sehari, mana mungkin tercukupi kalau nggak dibantu dengan jualan.” Tuturnya. (*)