Pada Selasa (24/10) Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) melalui program Stopping Cybercrime Against Children: More Safety and Protection on The Internet menyelenggarakan seminar lokal tentang pekerjaan layak di era digitalisasi. Seminar dengan tajuk “Dialog Orang Muda dan Bisnis: Keahlian dan Ketenagakerjaan Masa Depan dan Tantangannya dalam Sistem Perlindungan Anak Online” yang diselenggarakan di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Angkasa Medan ini diikuti oleh 30 orang muda dari berbagai komunitas anak muda yang ada di Kota Medan, serta 20 pebisnis dari berbagai sektor usaha.
Terdapat dua sesi dalam kegiatan dialog ini, yaitu diskusi panel dan diskusi kelompok. Sesi diskusi panel menghadirkan empat pembicara perwakilan dari orang muda dan juga sektor bisnis. Mereka adalah Wiwid Syahdiyah, selaku City Launcher Manager dari Atma Indonesia; Muhammad Fadhlan, selaku Lead Marketing Strategist Clapham Company; Yogi Adjie Driantama, selaku Founder dari Semut Sumut; dan Fandy Zulmi, selaku Manajer Program dari Yayasan PKPA.
Dalam paparannya, Wiwid menjelaskan bahwa tren pekerjaan start up yang sebelumnya ramai disukai anak muda, saat ini sudah mulai menurun karena work culture yang sangat menantang dan banyaknya tekanan. Sehingga banyak anak muda yang cepat beralih dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan lainnya. Hal ini juga diaminkan oleh Fadhlan, sebagai perwakilan pembicara anak muda. Ia mengatakan bahwa dengan digitalisasi saat ini anak muda terus mengasah keterampilan dari berbagai bidang untuk karir yang lebih baik. “Gen Z ingin punya gaji yang tinggi, stabil, dan akselerasi karir lewat berbagai program,” jelasnya.
Fadhlan juga menambahkan bahwa peran atau pengaruh anak muda saat ini sangat vital. Anak muda mampu menciptakan tren-tren baru yang bahkan juga harus diikuti oleh generasi sebelumnya. Bisnis dan industri perlu untuk mengikuti tren anak muda agar tetap eksis dan berkembang.
Hal ini yang kemudian menjadi fokus dari Yayasan PKPA terhadap lingkungan digital yang aman bagi anak. Fandy menjelaskan bahwa risiko dari penggunaan sosial media ini terbagi ke dalam conduct risk dan content risk. “Oleh karena itu bisnis harus memahami prinsip bisnis yang berbasis hak anak untuk tetap melindungi anak di dunia digital sekalipun,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa dengan kesempatan yang sangat besar di dunia digital, anak muda harus lebih pandai memanfaatkan kemampuan dan keterampilannya dengan tetap mempertimbangkan keamanannya sendiri di dunia digital.
Terkait dengan pekerjaan yang layak dan inklusif, Yogi mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa pekerjaan yang layak adalah pekerjaan yang menghasilkan gaji yang cukup bagi tenaga kerja. Sebagai founder dari program yang memberikan pendidikan keterampilan bagi anak-anak putus sekolah, ia merasa perlu untuk menentukan standar gaji yang sesuai dengan keterampilan yang dimiliki tenaga kerja. Tujuannya adalah untuk mendorong para pemilik bisnis atau pemberi kerja untuk meningkatkan taraf hidup para pekerja.
Ia juga menambahkan bahwa dengan kondisi yang ada saat ini, bukan lagi waktunya bagi anak muda menghabiskan waktu hanya untuk mencari kesempatan, melainkan seharusnya dapat menciptakan kesempatan itu sendiri. “Solusi pekerjaan bagi para job seeker adalah lakukan social project,” kata Yogi ketika menjelaskan bahwa pekerjaan yang selaran dengan SDGs adalah pekerjaan yang memiliki banyak kesempatan.
Setelah sesi dskusi panel berakhir, dilanjutkan dengan sesi diskusi kelompok. Dengan dipandu oleh fasilitator masing-masing, seluruh peserta terbagi ke dalam lima kelompok untuk mendiskusikan mengenai pekerjaan layak dan gap antara keterampilan dan kebutuhan ketenagakerjaan saat ini dan masa depan. Melalui dialog ini, PKPA mencoba mempertemukan perspektif antara orang muda dan bisnis tentang pekerjaan layak, minat dan tantangan kaum muda, kebutuhan bisnis akan keterampilan saat ini dan masa depan, serta faktor risiko yang ada di online. (DMC_Anggi)