Oleh: Dizza Siti Soraya
Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum diatur pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Pasal 1 ayat 3 menyebutkan Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan penanganan anak dengan usia dibawah 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana?
Pertanyaan ini tidak serta merta muncul namun diawali oleh kegelisahan atas munculnya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak berusia di bawah 12 tahun. Mengawali tahun 2023 saja, sudah muncul beberapa kasus yang cukup menyita perhatian. Kita ambil contoh kasus kekerasan seksual yang terjadi di Jawa Timur dimana Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) masih berusia sekitar 8 tahun telah melakukan kekerasan seksual terhadap anak sebagai korban yang berusia 6 tahun. Tentunya dalam penanganan AKH ini selain dari UU SPPA, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum 12 (dua belas) tahun.
Pada Pasal 67 PP No. 65 tahun 2015 menyebutkan dalam hal anak yang belum berumur 12 (Dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan anak kembali kepada orangtua/ wali: atau mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Dalam UU dan peraturan lainnya yang berlaku di Indonesia, tindak pidana yang dilakukan oleh AKH yang belum berumur 12 tahun. Belum dapat dimintai pertanggung jawaban dan akan dipertimbangkan untuk menyerahkan anak kembali kepada orangtua/wali. Berdasarkan rekomendasi yang harus dibuktikan dari penelitian kemasyarakatan oleh pembimbing kemasyaratan. Namun jika kekerasan yang dilakukan oleh anak dicurigai, dikarenakan kelalaian oleh orangtua maka pembimbing kemasyarakatan harus lebih ekstra untuk melakukan pengawasan dan evaluasi kepada AKH dan keluarga.
Namun jika hal ini terjadi, maka muncul dilema baru. Seperti kita ketahui bahwa keberadaan LPKS hingga saat ini masih menjadi tanda tanya, yang akhirnya tidak ada opsi sehingga anak tetap harus dikembalikan kepada orang tua meskipun orang tua dianggap belum layak dalam pembimbingan anak. Hal ini sebenarnya sangat beresiko, sangat besar kemungkinan anak akan melakukan kesalahan (tindak pidana) yang sama.
Hal ini sejalan dengan pengalaman pendampingan yang dilakukan oleh PKPA. Beberapa kasus seperti ini terjadi dan AKH kembali melakukan kesalahan saat masih dibawah pembimbingan orang tua. Ini menjadi masalah yang mungkin terlihat sepele, namun berdampak serius terutama bagi anak.
Jika kita runut kembali, UU SPPA telah lahir sejak tahun 2012 dan diberlakukan 2 tahun kemudian sampai sekarang. Artinya sudah 10 tahun UU SPPA diterapkan, akan tetapi mandat dari UU SPPA belum sepenuhnya terpenuhi. Hal ini merujuk pada fasilitas yang sebagaimana diatur dalam UU SPPA belum dipenuhi secara maksimal. Salah satu contohnya adalah keberadaan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) yang masih antah berantah.
Jika sudah begini, siapa yang akan bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas LPKS ini. Instansi mana yang seharusnya menyediakan LPKS? Jika terus begini, maka yang akan menjadi korban tentu saja adalah anak. Seperti yang sebelumnya dipaparkan, pembimbingan anak akan dikembalikan kepada orang tua, yang dalam hal ini belum tentu mampu atau bahkan dalam beberapa kasus, menjadi salah satu faktor pendukung anak melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum. Lantas aturan terkait penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, yang tampak sudah sangat baik tersusun di atas kertas, menjadi mentah kembali dalam pengimplementasiannya.
Kita sama – sama tahu bahwa Negara kita adalah Negara Hukum dan memiliki panduan serta menjunjung kode etik termasuk dalam penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH). Namun jika kita salami lebih jauh, aturan ini masih kurang dikawal dengan baik sehingga penerapannya masih jauh panggang dari api. Hal ini butuh komitmen bersama dari pemerintah sehingga hak anak termasuk ABH dapat terpenuhi.
Dizza Siti Soraya
Penulis adalah koordinator unit Pengaduan Anak (PUSPA) di Yayasan PKPA.