
“Dari rumah kita selamatkan anak, kita selamatkan generasi Indonesia”
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia telah berada pada titik nadir kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak. Kekejaman penjahat seksual khususnya terhadap anak telah telah merenggut ratusan ribu korban di seluruh Indonesia, dan terus terjadi setiap tahunnya. Dari catatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang dilaporkan setiap tahunnya, kejahatan seksual merupakan bentuk kasus yang paling tinggi. Sebagai contoh adalah laporan kekerasan terhadap anak yang dilaporkan pada tahun 2015, dari 70 kasus yang dilaporkan sebanyak 51.4% (36 kasus) adalah kekerasan seksual. Menurut Catahu Komnas Perempuan 2016, saat ini kasus kekerasan seksual naik menjadi peringkat kedua dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk anak perempuan.
Bentuk kekerasan seksual tertinggi pada ranah personal adalah perkosaan sebanyak 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus.
Situasi lebih memprihatinkan lagi karena pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah orang-orang terdekat dan sebagian besar dikenal oleh korbannya. Kita masih ingat kasus pembunuhan sadis Angeline di Bali yang dalangnya adalah ibu angkatnya. Kasus lainnya adalah yang terjadi pada dua anak perempuan kakak beradik berusia 13 dan 11 tahun di Kecamatan Delitua, Provinsi Sumatera Utara, keduanya menjadi “budak” seks ayah kandung selama 2 tahun. Di Jakarta Selatan pada tahun 2011 dihebohkan dengan terbunuhnya AK gadis 17 tahun yang dibunuh oleh Ibu Kandungnya, dan yang terbaru pada awal Mei 2016 seorang anak MA usia 6 tahun di Makasar, Sulawesi Selatan meninggal dibunuh oleh ayah kandungnya. Masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan lainnya yang dialami anak-anak dengan pelaku orang-orang disekitar anak termasuk keluarga anak sendiri. Catatan tahunan PKPA dari laporan kasus kekerasan terhadap anak, pada umumnya tidak lebih dari 10% yang pelakunya orang tidak dikenal. Seperti laporan PKPA tahun 2015 hanya 4% yang pelakunya orang tidak dikenal.
Keluarga menjadi predator, mengapa?
Jika dulu ada nasehat orang tua mengatakan “hati-hati nak sama orang yang tidak dikenal” seperti sekarang tidak sepenuhnya berlaku. Anomali pelaku kekerasan seksual terhadap anak, bicara soal pelaku kekerasan seksual pada anak, biasanya terlintas dalam pikiran kita sosok orang tidak dikenal dengan wajah mesum atau fisik yang menyeramkan. Tetapi, ternyata tidak selamanya begitu, Karena faktanya keluarga juga banyak menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Tentu ini sebuah anomali, karena seyogyanya keluarga adalah lingkungan paling aman disaat lingkungan masyarakat dirasa tidak aman untuk anak-anak karena maraknya kejahatan diluar rumah. Keluarga yang semestinya menjadi tempat anak-anak merindukan kasih sayang, pelukan hangat dari ibu dan ayah, dan pastinya tempat mereka tumbuh dan berkembang dengan rasa aman dan menyenangkan. Tapi kenyataannya ribuan anak setiap tahunnya menangis pilu, akibat perkosaan dan kekerasan lainnya di tangan-tangan keluarga mereka sendiri. Hidup mereka terancam ditangan orang yang harusnya mereka paling percaya dan hormati.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pada pasal 26.secara nyata menyebutkan tangungjawab keluarga untuk melindungi dan mensejahterakan anak-anak, kecuali dalam situasi tertentu keluarga tidak dapat memenuhinya maka peran keluarga akan diambil alih oleh negara. Tanggungjawab dari orang tua antara lain;
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b) menumbuh-kembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
Kembali kita mempertanyakan anomali tentang keluarga, mengapa banyak keluarga menjadi pelaku kekerasan terhadap anak, bahkan kekerasan seksual. Apakah karena kemiskinan? ya mungkin saja tapi Stereotipe ini terbantahkan karena faktanya korban maupun pelaku tidak hanya dari kalangan keluarga miskin. Lalu apakah karena pendidikan rendah? Faktor ini juga dapat terbantahkan karena data pelaku dan korban kekerasan juga berasal dari keluarga dengan pendidikan tinggi. Lalu apa faktor dominannya?, saya coba menelah sebuah cerita lepas di media sosial milik sahabat saya Rurita Ningrung, Direktur Fitra Sumatera Utara, berikut adalah penggalan ceritanya;
Penggalan cerita lepas ini selaras dengan cerita-cerita lain dalam banyak kasus yang ditangani PKPA sejak tahun 2000-an hingga saat ini. Menunjukkan betapa kuatnya ideologi patriarkhi yang dianut negara maupun masyarakat yang terwujud bukan saja pada peminggiran perempuan sebagai jenis kelamin, melainkan juga mereka yang senantiasa terpinggirkan (the voiceless), seperti anak, masyarakat miskin pedesaan, minoritas, difabel, dan masyarakat adat. Menempatkan perempuan (dewasa dan anak-anak) sebagai obyek seks, dan posisi anak sebagai sub-ordinat kekuasan orang dewasa. Kondisi lainnya adalah nilai-nilai agama, norma-norma sosial, dan kemanusiaan, tidak lagi hidup dan menjadi patron didalam kehidupan keluarga.
Menjadi keluarga inspirasi yuk!
Keluarga harus kembali menjadi institusi inti bagi perlindungan anak, mereka harus tumbuh dan berkembang dengan layak dari rumahnya. Bagaimana kita menjadi keluarga inspirasi bagi perlindungan anak?, saya bersama Yayasan PKPA telah mengumpulkan sejumlah model dari banyak sumber, pengalaman, dan belajar dari kasus-kasus yang pernah ditangani. Beberapa pendekatan untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak dan juga bagaimana respon jika terjadi kekerasan seksual, orang tua dan anggota keluarga lainnya dapat melakukan peran penting, caranya:
- “Safe and unsafe touch” mengajarkan kepada anak-anak sejak dini tentang sentuhan aman dan tidak aman.
Sebuaha film animasi “katakan tidak” telah diproduksi oleh Yayasan PKPA sebagai media pembelajaran kepada masyarakat khususnya keluarga memperkenalkan kepada anak-anak tentang empat area pada tubuh anak-anak yang sangat “spesial” yakni di bagian mulut, dada, bokong, dan alat kelamin.
Mungkin sejak anak usia 2 tahun sudah diberikan pemahaman bahwa area-area tersebut hanya boleh di sentuh oleh orang yang sangat mereka percaya dan mereka mengerti bahwa sentuhan itu sehat dan aman. Mereka harus berani mengatakan “tidak” atau berteriak merasakan sentuhan yang dilakukan tidak sehat dan tidak aman.
2.Menjadi orangtua yang dipercaya anak.
Apakah kita telah menjadi orangtua yang selalu menyediakan waktu untuk mendengar cerita harian anak-anak kita?, komunikasi antara anak dan orangtua tua sering menjadi masalah utama tidak harmonisnya hubungan keluarga. Anak-anak lebih senang dan lebih terasa nyaman meneritakan kepada teman sebaya masalah-masalah pribadi dan hal-hal yang dihadapinya tentang sekolah, hubungan dengan teman, sampai masalah yang serius mungkin tentang kekerasan seksual yang dialaminya, atau memilih untuk diam. Semakin banyak anak-anak yang merasa takut dan tidak percaya untuk menceritakan kehidupan pribadinya dan masalahnya kepada orangtua. Tentu ini bukan semata-mata kesalahan dari anak, tapi juga dari orangtua yang tidak bisa menumbuhkan rasa percaya dan cinta dari anak. Setidaknya ada beberapa cara bagi orangtua untuk membantu menumbuhkan rasa percaya anak; a) Orang tua juga diimbau untuk tidak menakut-nakuti anak mereka dengan sesuatu yang tidak layak merak takuti, karena anak-anak akan jadi pengecut dan pembohong. b) luangkan waktu untuk mendengarkan pengalaman harian anak dan bangun interaksi seperti teman sehingga anak merasa nyaman untuk bercerita, dan yakinkan anak bahwa sebagai orangtua anda akan menjadi orang pertama yang akan slalu ada dan siap untuk mendengar setiap masalah yang dihadapi anak. c) berikan dukungan untuk percaya diri, dan membantu anak (lebih) memahami dunianya, situasi-situasi dan pengalaman hidupnya.
3.Keluarga melek IT
Informasi Teknologi yang terus berkembang dan merambah hingga pedesaan memang tidak mungkin untuk dihindari. Saatnya era digital, maka siapapun harus siap berhadapan dengan era digital ini. Sahabat Nabi Muhammad S.A.W berpesan; “Didiklah anak-anakmu agar siap menghadapi zamannya, karena mereka kelak akan hidup di zaman yang berbeda denganmu” –Ali Bin Abi Thalib Radhiallahuanhu–.
Anak-anak kita hari ini adalah generasi digital. Mereka tumbuh bersama perangkat teknologi digital atau gadget dalam genggaman. Keseharian mereka lekat dengan internet serta teknologi informasi lainnya. Mereka aktif berkomunikasi dan berinteraksi melalui media sosial dan memanfaatkan fasilitas yang tersedia di sana. Plus dan minus (positif dan negatif) dari sebuah perubahan tentu ada, peran orangtua penting untuk membantu anak memanfaatkan sisi positif kemajuan teknologi dan mencegah dampak negatifnya. Membiarkan anak-anak berhadapan sendiri dengan alat teknologi informasi maka sama halnya dengan membiarkan anak berada dalam resiko besar. Kasus penculikan anak, perdagangan anak, prostitusi anak, game online, dan akses konten-konten porno telah berkembang pesat di media online dan menjadikan anak-anak sebagai korbannya. Setiap orangtua bertanggungjawab untuk mengedukasi anak-anak menggunakan internet secara aman, mengawasi, dan juga melindungi. Yayasan PKPA telah mengembangkan konsep perlindungan anak online, mari kita belajar bersama untuk melindungi anak-anak dari kejahatan online.
4.Keluarga peduli anak
Anak tidak hanya dimaknai sebagai anak biologis semata, tetapi kita harus menyadari bahwa disekitar kita juga ada banyak anak-anak, mereka anak saudara, anak tetangga, anak-anak yang tanpa pendamping, dan anak-anak generasi dunia. Anak-anak ini memiliki hak perlindungan dari kita semua, maka kita tidak bisa mengabaikan ketika anak-anak disekitar kita ada dalam situasi yang beresiko dan terancam keselamatan atau kelangsungan hidup mereka. Kepedulian setiap individu dewasa sangat dibutuhkan agar anak-anak merasa aman dan terlindungi dimanapun mereka berada. Dalam banyak kasus, orangtua tidak mengetahui persis apa yang dilakukan dan apa yang terjadi dengan anak-anak mereka saat orangtua tidak bersama anak. Dalam situasi tersebut maka setiap individu dewasa adalah orangtua mereka yang akan menjadi pelindung dari kemungkinan adanya ancaman kejahatan seksual. Laporkan Setiap peristiwa kejahatan yang mengancam atau dialami oleh anak-anak ke kantor polisi terdekat, atau minta bantuan lembaga layanan lembaga perlindungan anak.
Sepenggal tulisan ini semoga bermanfaat bagi keluarga yang sedang dalam keresahan karena semakin maraknya kejaahatan seksual anak, dan semoga tulisan ini berkonstribusi pada usaha penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.