
Perjuangan Ibu Tunggal Menghidupi 6 Anak
Membesarkan tiga orang putra dan tiga orang putri menjadi perjuangan yang harus dilakoninya seorang diri setelah suaminya meninggal di tahun 2011. Aisiyah nama wanita berusia 59 tahun yang masih harus bergumul dengan hiruk pikuk kepadatan lalu lintas untuk bertahan hidup mencari nafkah.
Setiap hari pukul tujuh pagi beliau mengawali hari dengan bersepeda menuju pasar untuk membeli kue basah seharga Rp 500,- yang lantas dijual kembali dengan harga Rp 2.000,- per tiga buah. Beliau berkeliling di sekitaran klambir v menjajakan kue untuk sarapan.
“Kalau nggak pagi, bisa berkurang yang beli karena mereka belinya untuk sarapan. Kalau keluarnya lewat dari jam tujuh kuenya bisa banyak sisa. Kalau udah bersisa ya dimakan aja sama anak-anak biar nggak basi.” Ujarnya.
Setiap harinya Ibu Aisiyah mampu berjualan 350-400 potong kue menggunakan sepeda. Sebagaian uang hasil dagang digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan sisa pendapatannya ditabung karena beliau bercita-cita untuk berangkat haji apabila tabungannya telah mencukupi.
Sebelum berjualan kue, Ibu Aisiyah telah lebih dahulu melakoni banyak pekerjaan. Menurut pengakuan beliau, semua pekerjaan akan dijalaninya asalkan halal, semua itu demi membesarkan ke enam anaknya.
“Dari jual monja, baju baru, kerja pinang, sampe jadi pembantu, nyuci gosok, jual selop, jual salak, jual buah, semuanya udah saya jual cuma diri saya saja yang nggak saya jual.” Ujarnya sembari tersenyum berusaha untuk bercanda menghadapi kerasnya kehidupan yang harus dijalaninya.
Cobaan untuk Anak Tertua
Pada tahun 2010, setahun sebelum suaminya meninggal, Ibu Aisiyah terlebih dahulu mengalami cobaan yang mengguncang hidupnya. Anak tertuanya Yasih Hamid yang saat itu berusia 20 tahun mengalami ganguan pada syaraf otak.
Awalnya Acing (panggilan akrab Yasir – Red) hanya berdiam diri, tidak berniat untuk berinteraksi dengan orang lain dan berulang kali bergumam bahwa dia sudah akan meninggal. Orang tuanya lantas membawa Acing ke dukun setempat, namun karena tidak ada perubahan orang tua Acing lantas membawanya ke pengobatan alternative. Meskipun begitu, upaya yang dilakukan tetaplah sia-sia.
Sebelum menderita gangguan syaraf, Acing pernah bekerja di sebuah pabrik kayu japara. Ibu Aisiyah berspekulasi bahwa serbuk kayu yang terhirup dan aroma lem kambing yang digunakan pada proses produksilah yang membuat Acing akhirnya menderita gangguan syaraf.
Ibu Aisiyah juga pernah membawa Acing ke dokter spesialis syaraf, namun karena biaya perobatan medis yang mahal dan perobatan yang harus rutin dijalani membuat ibu Aisiyah tidak sanggup melanjutkan perobatan.
“Pernah dibawa ke dokter syaraf di Gatot Subroto, sekali berobat seratus ribu lain biaya becak. Tapi berobatnya harus rutin, kalau sekali-sekali percuma nggak ada perubahan. Ibu kepinginnya dia sembuh, tapi mau gimana lagi, saya rasanya sudah putus asa.” Ujar ibu Aisiyah dengan suara bergetar. Untuk pertama kalinya beliau tidak mampu menahan rasa sedih dan air matanya.
Keempat putra dan putrinya yang lain sudah menikah dan bekerja. Saat ini, yang juga masih menjadi kekhawatirannya selain Acing adalah putra bungsunya Jakaria yang masih berusia enam belas tahun. Sebagai seorang anak, Jakaria tidak memiliki minat sedikitpun untuk melanjutkan pendidikan formal. Jakaria anak yang pendiam, rajin mengaji dan sering bergambung dikelompok remaja mesjid di daerahnya. Namun dia akan menolak jika ditawarkan untuk bersekolah ataupun melanjutkan pendidikan ke sekolah maupun pasantren.
“Ibu kan udah tua, bapaknya juga udah nggak ada. Ibu takut kalau ibu udah nggak ada, siapa yang mau mengurus dia nanti. Ibu kalau udah teringat bapaknya anak-anak suka nggak bisa nahan.” Ujarnya sembari menghapus air mata menggunakan kerudung, namun beliau tetap berusaha tersenyum dan menyembunyikan kegundahan hatinya. (*)