Blog

Simpati Publik Meluas dalam Kasus KDRT Selebgram CIN, Bagaimana Proses Hukumnya?

Proses hukum kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang melibatkan tersangka AT sebagai suami, terhadap korban CIN selaku istri, masih terus berjalan. Kasus penganiayaan ini mulai diketahui publik setelah korban mengunggah bukti kekerasan melalui akun Instagram pribadinya.

CIN mengaku telah mengalami tindak KDRT selama lima tahun dalam pernikahan mereka. Bukti CCTV yang beredar telah menarik simpati banyak masyarakat, terutama karena CIN baru saja melahirkan anak dan masih dalam masa nifas serta menyusui. Selain itu, beberapa cuplikan dalam video CCTV menunjukkan bahwa tersangka AT sempat menendang anak bayinya. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, tersangka AT mendapatkan kecaman keras dari masyarakat.

Hingga saat ini, korban CIN masih dalam pemantauan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satres Polres Bogor bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. 

Kemudian, apakah proses hukum yang dijalani dalam penanganan kasus KDRT ini sudah sesuai prosedur? Berdasarkan fakta-fakta yang dihimpun oleh PKPA, PKPA akan mengulas tindak lanjut dan proses hukum yang berlangsung.

Analisa Prosedur Penanganan Kasus

Berdasarkan pernyataan dari Kapolres Bogor AKBP Rio Wahyu Anggoro, tersangka AT dijerat dengan pasal berlapis yaitu mengenai KDRT, kekerasan pada anak, dan penganiayaan. Atas tindak pidana tersebut, tersangka AT terancam hukuman penjara selama 4 hingga 10 tahun.

Adapun pasal-pasal yang berlaku dalam kasus ini meliputi:

  • Pasal KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga): Pasal 44 Ayat 2 UU No. 23 Tahun 2004, dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
  • Pasal Kekerasan terhadap Anak: Pasal 80 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002, dengan ancaman hukuman 4 tahun 8 bulan ditambah sepertiga.
  • Pasal Penganiayaan: Pasal 351 KUHP, dengan ancaman hukuman paling lama 5 tahun penjara.

Pihak kepolisian juga memberikan bantuan pemulihan psikologis kepada CIN selaku korban KDRT. Selain itu, anak-anak korban akan menerima bantuan untuk pemulihan trauma serta pendampingan dari segi fisik maupun psikologis.

Respon dari PKPA

Dalam kasus KDRT CIN, penanganan yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:

  1. Komunikasi yang Jelas: Pastikan korban dan keluarga mendapatkan informasi yang jelas mengenai prosedur penanganan dan hak-hak mereka.
  2. Perlindungan Anak: Anak korban harus mendapatkan perlindungan yang memadai, termasuk bantuan pemulihan psikologis dan reintegrasi sosial.
  3. Penegakan Hukum yang Tegas: Pastikan tidak ada mediasi yang dilakukan di luar pengadilan yang dapat mempengaruhi proses hukum.

Sanksi pidana bagi pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diatur dalam Pasal 44 Ayat 2 UU No. 23/2004 tidak dapat dihentikan proses hukumnya baik melalui upaya mediasi maupun restorative justice. Artinya, jika ada kemungkinan dilakukan mediasi, bentuk mediasi yang dilakukan adalah hanya untuk meringankan hukuman pelaku dan proses hukum tetap berjalan.

“Pasal 44 Ayat 2 UU No. 23/2004 bukan delik aduan. Dalam konteks ini, pihak berwajib harus bertindak secara objektif dalam melihat situasi mengingat kasus ini utamanya telah menyita perhatian publik. Terlebih lagi, korban dalam kasus ini ada 2, yaitu anak dan istri. Sehingga, akan sangat tidak etis apabila dilakukan upaya mediasi hingga kasus diselesaikan. Sekalipun ada kemungkinan berdamai, kasus ini harus tetap diadili dan dilanjutkan sebagaimana mestinya,” jelas Staf Litigasi/Advokat PKPA Ranaf Sitanggang, M.H.

Merespons ketetapan penanganan terhadap anak-anak korban, PKPA terus mengawal perkembangan kasus yang sedang berjalan dan memastikan perlindungan anak sesuai dengan UU No. 35/2014.

“Bahwa dalam situasi kekerasan dalam rumah tangga, anak-anak lah yang paling sering menjadi korban. Apa yang dialami anak tidak hanya dampak kekerasan fisik, tetapi juga berdampak pada psikis dan mental. Bagi anak-anak menyaksikan atau mengalami kekerasan dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka di masa depan. Kasus ini mewakili banyak anak Indonesia, di mana pun mereka berada, yang membutuhkan perlindungan segera dan penegakan hukum serius terhadap pelakunya,” tegas Direktur Eksekutif PKPA Keumala Dewi.

Medan, 19 Agustus 2024

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)

Kontak Pengaduan Kasus